Memasuki zaman baru di abad ke-20, Pemerintah Belanda mengadopsi haluan politik baru bernama Ethische Politiek (Politik Etis) dimana kesempatan baru dibuka pada kaum bumiputra untuk mencicipi buah pengetahuan a la barat. Sekolah - sekolah baru didirikan dibanyak tempat di Jawa yang mana melahirkan banyak gologan elit priyayi baru yang berpikiran lebih terbuka. Di “zaman bergerak” ini mulai bermunculanlah organisasi - organisasi pergerakan dengan berbagai macam corak mulai dari sosial-kebudayaan seperti Boedi Oetomo, keagamaan seperti Sarekat Islam (SI), sosialisme macam PKI, dan nasionalisme dengan PNI.
Gerak - gerik para tokoh - tokoh pergerakan yang mulai membangun kesadaran kebangsaan sebagai rakyat Hindia ini sudah barang tentu membuat pemerintah kolonial menjadi was - was. Pergerakan yang radikal semacam itu jika terus dibiarkan bisa berpotensi untuk merongrong keutuhan kekuasaan kolonial atas tanah insulinde. Untuk menjawab kekhawatiran tersebut maka dibentuklah suatu lembaga yang bertugas mengawasi dan mengumpulkan informasi dari tiap kegiatan kaum - kaum pergerakan dengan nama Politieke Inlichtingen Dienst (P.I.D).
P.I.D dibentuk pada 6 Mei 1916 ditengah panas nya Perang Dunia I di teater Eropa. Terputusnya hubungan negeri koloni dengan negeri Induk ditambah dengan semakin intens nya kaum - kaum pergerakan mengumpulkan masa membuat pemerintah kolonial harus bertindak cepat. Salah satu organisasi awal modern di Indonesia yang bercorak konservatif - moderat adalah Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.
Pasca diresmikannya Boedi Oetomo di Yogyakarta, gelombang pergerakan pun dengan cepat menyebar diseantero dunia Jawa. Magelang sebagai salah satu pusat pendidikan para calon korps pangreh praja menjadi salah satu cabang Boedi Oetomo paling awal. Sebagian siswa OSVIA (Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaaren) Magelang yang ikut hadir pada pendirian Boedi Oetomo di Yogyakarta pada 20 Mei langsung berikrar membuka cabangya di Magelang. Pada bulan juli 1908 jumlah anggota BO sudah mencapai 650 orang dan meningkat menjadi 10.000 orang dengan 40 cabang pada 1909. Pada tahun - tahun berikutnya beberapa mantan anggota Boedi Oetomo pun menyebar ke berbagai organisasi pergerakan lainnya seperti Sarekat Islam dan Indische Partij.
Hal yang demikian itu sudah pasti membuat pemerintah kolonial untuk mulai mengawasi baik organisasi - organisasi pergerakan dan juga gerak - gerik para tokoh - tokohnya. Tak terkecuali Bupati Magelang ke-5, Raden Adipati Aryo Danusugondo yang juga pernah memimpin Boedi Oetomo pasca kongers di bulan September 1909.
Dinas Inteljen Politik (P.I.D) pernah hadir dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dihelat pada tahun 1936. Menurut surat kabar Soerabaijasch Handlesblad yang terbit pada 20 Juni 1936, perayaan Maulid Nabi Muhammad yang dihelat oleh Sayid Ali bin Abdulrachman Alhabsy dari Kwitang di Tanah Abang, Batavia juga dihadiri oleh Bupati Magelang R.A.A Danoesoegondo. Pada tahun tersebut kebetulan R.A.A Danoesoegondo menjabat sebagai anggota Volksraad dari kalangan Bupati.
Sebagai dinas intelijen, acara yang melibatkan ribuan orang semacam itu sudah pasti menjadi perhatian bagi pemerintah kolonial. Para agen intelijen mencatat baik - baik apa - apa saja yang disampaikan dan melaporkan hal - hal yang dianggap membahayakan rust en order bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bahkan, menurut Soerabaijasch Nieuwsblaad yang terbit pada 13 Agustus 1936, PID juga sudah mempererat kerjasama dengan Militaire Inlichtingen Dienst untuk melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi yang dicurigai.
Salah satu organisasi yang sempat dicurigai dan dilakukan penyelidikan terhadapnya adalah Vereeniging Sasa Asma di Kutoarjo. Menurut Sumatra Post yang terbit pada 21 April 1939, Sasa Asma diduga ikut serta menghasut para pekerja di Magelang dan Brebes untuk melakukan mogok kerja bersama.
Secara struktural sebenarnya P.I.D (kemudian berubah menjadi A.R.D. - Algemeene Recherche Dienst pada 1919) masuk dalam wilayah kerja kepolisian dibawah yuridiksi Jaksa Agung. Pada tahun 1924, jumlah personel kepolisian di Kedu berjumlah 135 orang Agen Polisi dan 8 Anggota Reserse. Saat kunjungan Sunan Pakubuwono X ke Magelang pada 1937, beberapa anggota kepolisian seperti kepala inspektur polisi, Vossenaar dan inspektur polisi lapangan, Ester mendapatkan penghargaan berupa medali emas Keraton Kasunanan Surakarta.
Referensi : Memata - Matai Kaum Pergerakan, Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 - 1934.
E-Book Dokter Soetomo
Komentar
Posting Komentar