Karena minat dan atusiasme masyarakat Eropa, Timur Asing dan Bumiputra akan adanya bioskop di Hindia Belanda, banyak sekali dampak positif dan negatif yang timbul akibat fenomena ini. Sebut saja gaya dan mode berpakaian para artis filem sempat memberikan warna dan mempengaruhi masyarakat di banyak kota di Hindia. Contohnya seperti gaya berpakaian tokoh Zigomar dalam filem Triko a la Zigomar yang sempat trend di Bandung. Ada pula potongan bentuk kumis dan model rambut a la tokoh Eddie Polo dalam filem serial Broken Coin yang sempat di tayang di Bioskop di Magelang antara tahun 1915 - 1920an. Serta adanya pengaruh musik bioskop yang masuk kedalam musik tradisional di masyarakat.
Sejak 1916, impor filem ke Hindia Belanda semakin meningkat dengan genre filem yang beraneka ragam. Bahkan karena cepatnya perputaran filem di Hindia, filem - filem baru buatan Amerika terkadang sudah tayang terlebih dahulu di sini dibandingkan di Negeri Induk Belanda. Akbiat hal tersebut, ada hal - hal yang tidak diharapkan muncul dan membuat khawatir pemerintah kolonial. Seperti perubahan pandangan masyarakat bumiputra terhadap para sinyo kulit putih yang timbul akibat banyaknya filem - filem buatan Amerika yang menampilkan adegan kekerasan, pencurian, adegan dewasa, dan pemberontakan yang bisa merusak citra “white supremacy” mereka yang berperadaban tinggi.
Pemerintah Magelang sendiri kala itu, melalui risalah hasil rapat dewan Kota Magelang pada bulan November 1915 juga sangat khawatir dengan fenomena tersebut. Beberapa anggota dewan kota seperti Tuan Wormster dan Tuan Jockin, berpendapat bahwa sering munculnya adegan kekerasan dan pencurian dalam filem di bioskop menambah jumlah tindakan kejahatan seperti pencurian dengan kekerasan di Magelang.
Maka dari itu, pemerintah pusat di Batavia pada 18 Maret 1916 mengeluarkan peraturan pemerintah (Staatblad No. 276) tentang lembaga senseor filem atau lazim disebut sebagai Ordonansi Bioskop 1916. Peraturan ini kurang lebih berisi tentang pembentukan komisi pemeriksaan filem yang akan memeriksa semua filem yang hendak diputar di seluruh Hindia Belanda. Selain itu, kebijakan sensor ini dimaksudkan juga untuk meredam citra miring perilaku orang kulit putih yang muncul dalam filem yang beredar di kalangan masyarakat bumiputra. Pengguntingan filem yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketertiban dan keamanan di masyarakat menjadi hak mutlak dari komisi sensor tersebut. Sepanjang perjalanannya, Peraturan Ordonansi Bisokop sudah mengalami setidaknya tujuh kali revisi hingga tahun 1940 dan harus berakhir ketika Jepang datang meyerang pada 1942.
Komentar
Posting Komentar