JALAN PANJANG INDUSTRI BIOSCOOP MAGELANG : Patriotisme Elit Orang Belanda dan Etika Menonton “Kelas Kambing”
Foto Bioskop Roxy Magelang koleksi Bagus Priyana dan editan oleh Pak Djoko S Martowirono
Pesatnya pertumbuhan gedung - gedung bioskop yang muncul pada abad ke-20 di banyak kota di Hindia membawa banyak perubahan dalam bagaimana beretika dan gaya bersikap ketika sedang menonton filem di tempat - tempat tersebut. Pada tahun 1900an, hiburan utama yang berwujud tontonan di banyak kota - kota di Hindia masih terbatas pada acara - acara seperti Operet, pertunjukan musik dan Dansa bagi para kalangan kulit putih di klub - klub societeit, Komedi Stambul, Sandiwara Tonil, Ketoprak, serta Pagelaran Wayang dan Gamelan yang hanya muncul ketika ada hajatan bagi masyarakat awam.
Sebagai gambaran, sebuah tenda atau gedung pertunjukan komedi stambul atau sandiwara tonil biasanya diisi dengan bangku - bangku papan untuk kelas termurah. Kelas ini acap kali diisi dengan orang - orang bumiputra, Tionghoa keturunan, dan anak - anak. Tenda atau gedung selalu terasa penuh sesak oleh penonton hingga banyak yang tidak dapat tempat duduk. Kebiasaan para penonton yang selalu bersenda gurau, tertawa terbahak, bersiul, berteriak, berdiri, dan gaduh itu terus terbawa hingga era munculnya gedung bioskop.
Sejak awal kemunculanya, pengelola Bioskop juga menerapkan sistem serupa pada para penontonnya. Tempat duduk para penonton dibagi menjadi beberapa kelas dengan kelas paling murah berada di deret paling depan dan kelas termahal ada dibaris belakang dengan bangku yang agak lebih tinggi. Bisa dibayangkan kala itu mereka yang bisa duduk dibaris belakang sudah barang tentu mereka yang berkantong tebal seperti para orang Eropa, pengusaha - pengusaha Tionghoa sukses, dan golongan priyayi. Sedangkan dikelas termurah atau di deretan depan adalah kalangan masyarakat umum berpenghasilan cekak yang area tempat mereka duduk disebut tempat duduk “kelas kambing”.
Hal menarik pernah dilaporkan oleh surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië yang terbit pada 22 September 1919 berkaitan dengan etika para penonton di “kelas kambing” yang mengusik rasa patriotisme para pengelola bioskop. Diberitakan bahwa Asisten Residen Magelang, Tuan Renaedel de la Vallete yang juga seorang pemilik bioskop di Magelang tidak pernah memsang foto Ratu Wilhelmina lagi di dalam bioskopnya karena merasa terganggu dengan tingkah polah para penonton “kelas kambing” yang urakan ketika menonton filem. Hal serupa ternyata juga dilakukan oleh seorang pemilik bioskop di Yogyakrata karena alasan yang sama bahkan sudah sejak tahun 1917. Ia juga meminta semua cabang bioskopnya yang lain seperti di Sukabumi dan Tasikmalaya untuk juga tidak memasang foto Sang Ratu di dalam bioskop karena rasa patriotismenya terganggu.
Uniknya ketika terdapat foto Sultan Hamangkubuwono VII dan Kerabat Keraton ditampilkan di dalam gedung, perilaku masyarakat yang duduk di deret depan berubah menjadi khidmat dan penuh hormat tanpa adanya teriakan, siulan atau kegaduhan lainnya. Hal itulah yang membuat jengkel para pemilik bioskop itu.
Namun apapun alasanya, bisnis bioskop memang tetap menjanjikan hingga tiga dasa warsa kedepan. Memasuki tahun 1920an, bioskop - bioskop baru dengan gedung nan megah, fasilitas penonton yang terus ditingkatkan, serta semakin atraktifnya teknologi perfileman menyebabkan banyak kelompok seni pertunjukan terpaksa gulung tikar. Menjelang 1930an, bioskop - bioskop baru yang muncul itu memang terbukti mematikan pertunjukan - pertunjukan keliling dengan menyedot para penonton yang dulu berjejalan di tenda - tenda pertunjukan berpindah ke dalam gedung - gedung bioskop.
Komentar
Posting Komentar