Watertoren dan Perubahan lanskap Alun - Alun Kotamadya Magelang : Menurut Dr. F.D.K Bosch 1936



Belakangan ini isu tentang berbagai macam perubahan bentuk lanskap kawasan alun - alun kota dan kabupaten di Jawa cukup menghangat. Pasalnya beberapa kota dan kabupaten di Jawa terkesan saling berlomba - lomba mempercantik tampilan alun - alunnya. Sebut saja penambahan tv raksasa, tulisan font besar nama kota, pagar keliling alun - alun, alat - alat kebugaran publik, air mancur, taman kuliner, atau juga tempat bermain anak. Mungkin tidak ada yang salah dengan pembangunan dan revitalisasi alun - alun sebuah kota. Namun, sudah tepatkah?

Di Magelang sendiri polemik pembangunan dan revitalisasi alun - alun banyak menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi pemerintah kota berpandangan bahwa pembangunan berbagai fasilitas publik di alun - alun Magelang adalah wujud pelayanan bagi masyarakat. Sedangkan di sisi lain, kalangan masyarakat pemerhati sejarah dan tata kota berpendapat pembangunan dancing fountain di barat alun - alun dan penambahan play ground anak yang sudah sangat memangkas luasan alun - alun tersebut dirasa membuat makna filosofis - historis alun - alun menjadi kabur.

Jika kita mau menengok kembali sejarah, perubahan lanskap alun - alun Magelang sudah terjadi sejak zaman kolonial dulu. Polemik antara pemerintah kotamadya dan masyarakat pemerhati sejarah juga pernah terjadi.

Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, wilayah pusat pemerintahan Magelang yang notabebe terletak di atas geger boyo menjadikan akses terhadap air menjadi sulit bagi masyarakat. Berbagai macam rekayasa saluran air dibuat oleh pemerintah kolonial untuk memenuhi kebutuhan air diantaranya seperti pembangunan Saluran Irigasi Manggis Leideng, Plengkung (aquaduct) dan menara air (watertoren).

Terdapat hal yang menarik mengenai pembangunan watertoren di alun - alun Magelang. Polemik pembangunan dan pemilihan lokasi menara air yang berada di barat laut alun - alun tersebut sempat mendapat kritik dari seorang begawan arkelogi Hindia Belanda. Beliau adalah Dr. F.D.K. Bosch, seorang Arkeolog senior yang sudah selama 22 tahun berjasa dalam penelitian tentang dunia arkeologi terutama Borobudur.

Dalam wawancaranya dengan surat kabat De Indische Courant pada Juli 1936 dalam acara perencanaan pembangunan museum Surabaya, beliau sempat mengkritisi pembangunan watertoen yang memakan lahan alun - alun. Dr. Bosch menyebutkan bahwa pembangunan watertoren dengan memotong lahan aloon-aloon tersebut dengan “menara air beton yang mengerikan.” Disamping itu, Beliau juga menambahkan keprihatinannya terhadap banyak keindahan asli di Hindia yang penuh makna itu harus hilang di tangan para ahli dan pengampu kebijakan walaupun niat dan tujuan mereka baik.

Diakhir wawancaranya beliau memberikan pesan bahwa kerja sama antara pemangku kebijakan dan para penggiat dan ahli yang mengerti tentang nilai budaya sangat dibutuhkan. Polemik pro dan kontra mengenai revitaslisasi dan penggunaan lahan alun - alun Magelang memang sudah ada sejak dulu. Lantas bagaimana sikap dan cara pandang kita terhadap hal ini pada masa sekarang? Mari belajar dari masa lalu.

- Chandra Gusta W -

Komentar