SERANGAN MACAN LERENG MERBABU 1938


Pada awal abad ke-20, pulau Jawa sudah dihuni oleh sekitar 28 juta manusia. Hal tersebut mengakibatkan produksi beras tahunan tidak lagi mencukupi kebutuhan populasi penduduk jawa yang kian bertambah. Dalam kurun waktu 15 tahun saja, sekitar 150% lahan sudah dibabat habis untuk budidaya padi dan tanaman perkebunan lainnya. Pada tahun 1938 tercatat hanya tersisa sebanyak 23% saja luas tutupan hutan di Jawa. Hal ini sudah barang tentu ikut mempengaruhi popolasi binatang karnivora besar seperti harimau yang kian terdesak dan naik ke pegunungan. Konflik antara manusia dan harimau pun kian tak terhindarkan.
Di Magelang sendiri antara tahun 1930 - 1940 sudah mengalami lonjakan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Dengan total penduduk baik Jawa, Eropa dan Timur Asing mencapai lebih dari 60.000 jiwa, tentu saja kebutuhan untuk tempat tinggal dan pangan menjadi sangat mendesak. Tercatat beberapa kali konflik antara harimau dan manusia pernah terjadi di Magelang.
Berdasarkan surat kabar Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant yang terbit pada 29 Desember 1938, seekor macan dilaporkan telah menyerang dua orang penduduk di dukuh Banjaran, desa Magersari, Ngablak.
Pagi hari sekitar pukul 10, seorang laki - laki bernama Sokerto tiba - tiba diterkam oleh seekor macan ketika ia sedang berjalan membawa genteng di jalan desa. Macan itu berhasil melukai dada dan lengan kanannya. Tak pelak, Sokerto yang berjuang melawan maut berteriak meminta tolong. Untung saja, tak jauh dari lokasi itu, seorang petani bernama Panawi yang sedang bekerja di tegalan mendengar teriakan Sokerto. Ia lantas bergegas mencari sumber suara untuk memeriksa. Betapa kagetnya ketika ia menemukan seorang laki - laki sedang bergulat antara hidup dan mati dengan seekor macan. Tanpa pikir panjang, Panawi pun langsung menolong Sokerto.
scan potongan berita asli dari koran mengenai serangan macan Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant.
Tak lama kemudian, warga desa lainnya berdatangan untuk menolong kedua pria malang ini. Merasa terintimidasi, sang macan pun melarikan diri dan bersembunyi di bawah semak-semak pandan di dalam parit. Sokerto dan Panawi pun dilarikan ke rumah sakit di Magelang dengan luka parah bekas gigitan dan cakaran macan.
Tak lama kemudian, Asisten Wedono Ngablak datang didampingi oleh salah seorang petugas polisi. Sang Asisten Wedono tentunya kesana tidak dengan tangan kosong. Ia dipersenjatai dengan senapan Mannlich 6,5 mm.
Setelah ditunjukan tempat persembunyian si macan oleh warga desa, Sang Asisten Wedono pergi ke sisi parit yang lain dan mengarahkan senapan Mannlichnya ke tubuh si raja rimba itu. Si Macan yang sudah terdesak itu kemudian mengaum dan bersiap untuk menerkam untuk terakhir kalinya.
“DORRR....!”
Dengan tembakan yang diarahkan dengan baik, sang asisten wedono itu berhasil menembak mata kiri si macan dan tamatlah riwayat si raja rimba.
Tewasnya harimau ini disambut dengan penuh kegembiraan warga desa. Macan yang mati hari itu adalah seekor harimau jantan berukuran panjang 1,68 meter dari kepala hingga ekor dengan tinggi 0,59 m.
- Chandra Gusta W -
Sumber : Diintepretasikan ulang dari surat kabar Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant dan Zaans volksblad : sociaal-democratisch dagblad yang terbit pada 29 Desember 1938 

Komentar