SENJA KALA TOKO JEPANG DI KOTAPRAJA : Dari Jejaring Bisnis Hingga Spionase

Potongan Iklan Toko Kelontong dan Studio Foto Oizumi dari majalah Magelang Middlepunt van den Juin Java
Cikal bakal bisnis pertokoan diaspora warga negara Jepang di Hindia Belanda bisa dilacak sejak tahun 1900-an saat beberapa pedagang Jepang mulai menjajakan barang kebutuhan sehari - hari seperti bedak, sabun, kosmetik dan lain sebagainya bagi para karayukisan (wanita tuna susila) di kota - kota besar di Hindia. Pada perkembangannya para pedagang Jepang ini merambah segmen pasarnya ke kalangan bumi putra hingga ke pelosok - pelosok daerah.
Memasuki tahun 1910, para pedagang Jepang yang tadinya berkeliling menjajakan dagangannya mulai berani menetap dan membuka toko. Hingga tahun 1914 setidaknya terdapat 74 pemilik toko dengan 144 pegawai serta 58 pedagang keliling dimana 38 diantaranya adalah penjual obat di seluruh Jawa dengan pusat kegiatan ekonomi di Batavia, Semarang dan Surabaya. Hingga tahun 1933, jumlah toko Jepang di Jawa bagian tengah dan timur mencapai 534 buah.
Memasuki tahun 1920an, pertumbuhan toko - toko Jepang di Jawa kian pesat. Dipicu oleh berhentinya barang kebutuhan impor dari Eropa karena meletusnya Perang Dunia I, maka para pengusaha Jepang ini pun mulai memberanikan diri mengembangkan usaha ekspor hasil bumi dan impor barang kebutuhan sehari - hari langsung dari Jepang. Tak pelak, toko - toko baru pun bermunculan di banyak kota - kota di Jawa. Jaringan organisasi pelayaran, angkutan, pembiayaan, bank, grosir hingga ke tingkat toko milik para pengusaha Jepang ini menurut J. van Gelderen, seorang negosiator dagang Jepang - Hindia Belanda layaknya sebuah mata rantai yang membentang dari kota pelabuhan Yokohama hingga ke pelosok pedesaan Jawa. Ditambah lagi dengan etos kerja yang baik, sikap disiplin yang tinggi, barang yang murah dengan kualitas baik, sistem penjualan harga pas dan obral membuat bukan hanya warga bumiputra saja yang suka, bahkan orang Eropa pun gemar berbelanja di Toko Jepang.
Beberapa pengusaha Jepang yang mampu dengan baik melihat peluang dan melakukan penetrasi dengan membuka cabang usahanya adalah Nanyou Shoukai yang berbasis di Semarang dan Kaneko Shoukai yang berpusat di Yogyakarta. Cabang toko mereka bahkan ada yang sampai di wilayah Gemeente Magelang dan Muntilan kala itu. Beberapa toko Jepang yang pernah eksis di Magelang antara lain adalah Toko Hikari, Toko Tjioda, Foto Studio Midori dan Toko Kelontong dan Studio Foto Oizumi.
 Kantong pesanan foto dari studio MIDORI doc: Gunawan Priyosusilao
Toko Midori terletak di Groote Weg Zuid no. 116 (Toko LAN Pecinan, Magelang) fokus bergerak di bidang studio foto, fotografi professional, dan alat2 fotografi. Jasa studio foto Midori pernah diminta untuk mendokumentasikan upacara pemakaman Anna Maria Van Der Steur, istri Johannes Van Der Steur tahun 1936. Selain di Magelang, Studio Foto Midori juga membuka cabangnya di Semarang.
Foto Pemakaman Upacara Anna Maria Van Der Steur hasil jepretan Studio Foto Midori
Disisi lain, Toko Kelontong dan Studio Foto Oizumi membuka tempat usahanya di bilangan Groote Weg Zuid no.17, Magelang. Dalam iklan yang tercetak dalam majalah pariwisata Magelang Middelpunt van den Tuin van Java tahun 1936, Toko ini juga menjual berbagai peralatan tulis, mainan anak, dan peralatan rumah tangga model terbaru dengan harga yang diklaim paling murah se-Magelang. Toko Oizumi banyak menghasilkan berbagai macam foto lokasi - lokasi strategis di Magelang. Tak jarang berbagai instansi pemerintah, militer dan kalangan umum di Hindia Belanda seperti, Organisasi Gereja Zending , Organisasi Sosial, Sekolah dan pribadi banyak menggunakan jasa Toko Oizumi ini untuk mengabadikan momen mereka.
Salah satu foto hasil jepretan Toko Oizumi yang mengambil lokasi Hotel Montagne. Kelak, hotel ini dijadikan markas tentara Jepang pada Perang Dunia II
Memasuki 1930an hingga 1940, gelombang permasalahan mulai menerpa bisnis toko - toko Jepang di Hinida. Dimulai dengan pulihnya jalur distribusi barang impor dari Eropa setelah Perang Dunia I, adanya devaluasi mata uang Yen oleh pemerintah Jepang, mengguritanya krisis ekonomi global (malasie), dan juga merebaknya sentimen anti produk Jepang dari para pengusaha Tionghoa yang sudah lama mapan sebagai buntut dari invasi Jepang di Manchuria, membuat para pengusaha toko Jepang ini merasa waswas. Persaingan usaha dengan pedagang Tionghoa ini mengakibatkan beberapa insiden dibeberapa tempat seperti pengroyokan dan pelemparan toko - toko milik orang Jepang.
Di Magelang sendiri pada bulan Mei 1941, manajer Toko Tjioda yang asli kelahiran Tokyo, Tuan Shozo Takakuwa sempat terjerat kasus hukum dengan pemerintah dan harus membayar denda sebesar f 100. Karena ia tidak sanggup membayar denda tersebut ia pun terpaksa harus mendapatkan hukuman penjara.
Berita penangkapan mata - mata Jepang yang juga seorang juru foto di Magelang
Gelagat Pemerintah Jepang untuk mengobarkan siasat Perang Asia Timur Raya mulai terlihat ketika Kedutaan Besar dan Konsulat Jendral Jepang meminta semua diaspora Jepang yang ada di Hindia Belanda untuk segera pulang ke Jepang. Kapal eksodus terakhir dari Jepang, Fuji Maru, berlabuh di Batavia pada 22 November 1941 yang kemudian berturut - turut mendarat di Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Makasar dan Gorontalo dengan membawa kurang lebih 5000 orang penumpang. Benar saja, pada 8 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan angkatan laut Amerika di Pearl Harbor. Lima jam berselang Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer menyatakan perang terhadap Kekasisaran Jepang. Pada 9 Januari 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda menangkap 2093 orang Jepang yang masih tertinggal di Hindia Belanda. Dua hari berselang yaitu 11 Januari, Kota Tarakan di Kalimantan Timur jatuh ke tangan bala tentara Jepang.
Sehari sebelumnya di Magelang, menurut surat kabar Bataviaasch Niewsblad, seorang pria Jepang yang bersembunyi di gua lereng Sumbing berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Keberhasilanya mengelabui polisi itu selain dari tempat persembunyiannya yang terpencil juga didukung oleh penampilannya yang mirip dengan warga setempat. Disaat penangkapannya, ia sudah menggelapkan warna kulitnya serta mengenakan sarung dan ikat kepala. Beberapa barang bukti lain seperti pemancar radio dan alat ajar ditemukan di dalam gua milik orang Jepang tersebut.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, pria Jepang itu dulunya adalah seorang juru foto terpandang di Magelang. Kuat dugaan pria itu adalah seorang mata - mata pemerintah Jepang sebelum invasi terjadi pada bulan Maret. Memang sejak sebelum tahun 1930an , banyak sekali juru foto bekebangsaan Jepang yang mengabadikan berbagai lokasi di Magelang yang dikenal sebagai salah satu Kota Garnisun terbesar di Jawa.
Berbagai upaya dilakuakan pemerintah Stadsgemeente Magelang untuk mempersiapkan diri menghadapi invasi Jepang yang kilat itu. Namun semuanya sia - sia. Magelang sendiri jatuh ke tangan bala tentara Jepang pada bulan Maret tahun itu. Dan toko - toko milik orang Jepang yang pernah ada itu banyak yang terbengkalai atau berpindah tangan ke pengusaha - pengusaha Tionghoa pasca kemerdekaan.
- Chandra Gusta W -

Komentar