NISAN - NISAN TUA DI KAMPUNG KERKOPAN

Antara yang Masih Hidup dan yang Sudah Mati

Pemakaman Eropa (Kerkhof) Magelang

Setelah lepasnya Magelang dari kekuasaan Kasunanan dan Kasultanan pasca penaklukan Inggris atas Yogyakarta, maka secara otomatis pula sistem pemerintahan Magelang berada langsung dibawah pemerintahan kolonial. Pada awal berdirinya Kabupaten Magelang, setidaknya terdapat kurang lebih 24 orang Eropa yang tinggal dan menetap pada 1818. Jumlah penduduk Eropa yang memutuskan untuk bermukim di Magelang terus meningkat hingga mencapai 101 jiwa pasca perang Jawa berdasar survey tahun 1834. Semakin stabilnya keamanan ditambah wilayah alamnya yang subur dan elok membuat populasi warga Eropa kian bertambah banyak pada tahun - tahun berikutnya.
Melihat hal tersebut, berbagai fasilitas publik pun mulai banyak dibangun oleh pemerintah baik kantor pemerintahan, jalan, saluran irigasi dan tak terkecuali pemakaman umum. Pada masa kolonial dulu pembagian ruang lingkup bagi penduduk baik yang berkebangsaan Eropa, China dan Arab, serta bumiputra tidak hanya terjadi ketika mereka masih hidup. Bahkan ketika mereka sudah mati pun, sekat - sekat pembagian lingkup juga masih terjadi.
Area pemakaman bagi warga berkebangsaan Eropa ini lazim disebut dengan EUROPEESCHE BEGRAAFPLAATS atau KERKHOF. Masyarakat kita karena keterbatasan pelafalan menyerdehanakannya dengan nama “kerkop”. Setidaknya terdapat 2 kompleks Kerkhof di Magelang dimana diperkirakan kompleks pemakaman yang paling tua berada di kawasan selatan Kampung Kejuron. Uniknya, berdasarkan stadskaart (peta) Magelang tahun 1920an, pemerintah kota Magelang pun memberi nama jalan di area Kerkhof Kejuron ini dengan nama Kerkopan Weg. Bukan hanya itu, kampung di selatan pemakaman pun diberi nama Kampung Kerkopan sejak tahun 1800an.
Peta Kerkhof
Sejauh ini saya memang belum menemukan data sahih yang menyatakan tahun pembangunan kompleks makam tersebut. Namun yang jelas, berdasarkan temuan batu nisan yang masih ada, kompleks pemakaman Kerkopan ini sudah digunakan pada tahun 1868. Bahkan dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, kompleks Kerkopan ini sudah digunakan sejak tahun 1838.
Kompleks pemakaman ini membujur dari Timur ke Barat bersisihan dengan jalan Kerkopan Weg (Jl. Sutopo) dan berbelok ke Selatan di sepanjang Karesidenan Weg (Jl. Diponegoro), tepat di hook jalan sehingga seperti membentuk trapesium. Karena letaknya yang berada di daerah tidak rata (menurun), maka kompleks kerkopan ini dipagari dengan tembok pagar keliling dan diperkuat dengan talud dari batu pada kontur tanah yang kurang rata.
Konon pemindahan makam di kompleks kerkopan ini pernah terjadi antara tahun 1938-1941. Makam - makam itu dipindahkan di kompleks pemakaman di sisi Utara kaki Gunung Tidar (Jl. Ikhlas). Alasan pemindahan beberapa makam di Kerkopan ini kemungkinan besar berkaitan dengan adanya proyek pengembangan kawasan barat kota sebagai kawasan pemukiman baru seperti proyek perumahan sehat Kwarasan dan Bajeman - West.
Pasca era kemerdekaan, kompleks pemakaman di Kerkopan ini mulai tidak terurus karena para ahli warisnya yang sudah pulang ke Negeri Belanda. Akibatnya, banyak pusara yang mengalami kerusakan dimana - mana. Berdasarkan penuturan salah satu warga kampung Kerkopan, antara tahun 1961 s/d 1966, masih bisa ditemukan beberapa makam dengan batu nisan dengan pusara yang mulai runtuh. Bukan hanya itu, tembok makam sebelah utara pun juga mulai roboh.
Tembok Pembatas Kerkhof yang masih berdiri
Pada tahun 60an ini pulalah pemukiman penduduk mulai dibangun berdekatan dan bahkan menempel pada dinding Kerkhof. Salah satu warga Kerkopan menceritakan ketika ia membangun rumahnya pernah menemukan tulang belulang jenazah dan bahkan gigi emas. Di tahun - tahun berikutnya, area pemakaman sebelah Barat dibongkar dan dijadikan rumah serta bagian Timur dibangun Balai Kelurahan Cacaban dan taman kanak - kanak.

Batu - Batu yang Bercerita

Tidak banyak informasi yang bisa digali mengenai sesiapa saja yang pernah dimakamkan di Kerkhof lama di Kampung Kerkopan. Nisan - nisan yang ada setelah dilakukan survey minggu kemarin hanya menyisakan dua buah saja dimana yang satu dalam kondisi disemen menjadi paving jalan rumah dan satunya lagi dalam keadaan pecah tiga bagian di pekarangan.
Mungkin dulu nisan - nisan semacam itu masih banyak tersebar di sekitar Kampung Kerkopan. Namun seiring berjalannya waktu, nisan - nisan itu pun menghilang satu persatu entah kemana. Menurut keterangan salah satu warga, banyak nisan - nisan yang tersisa tersebut dibeli orang, ditelantarkan, atau bahkan diubah menjadi meja makan karena materialnya yang terbuat dari batu marmer oleh masyarakat.
Nisan yang disemen di perkarangan rumah
Pada tahun 2012 yang lalu, masih ada batu nisan lain di halaman depan salah satu warga yang dijadikan sebagai penutup selokan. Namun nisan selokan itu sekarang sudah raib tak tahu kemana rimbanya. Untungnya nisan yang hilang tersebut sudah sempat tedokumentasi sedangkan 2 nisan lain yang tersisa masih dapat dibaca dengan baik.
Nisan marmer yang sudah hilang (dokumentasi Pak Widoyoko)
Berdasarkan hasil penelusuran, dua buah nisan yang masih tersisa di Kampung Kerkopan tersebut kemungkinan masih satu keluarga. Torehan keterangan dalam nisan tersebut masing - masing memiliki nama keluarga yang sama, yaitu DOM. lantas siapakah beliau - beliau ini?
Nisan yang pertama kali ditunjukan oleh warga setempat adalah nisan seorang balita berusia 3 tahun atas nama THEODORUS HUGO DOM. Ia lahir di Magelang pada 3 Desember 1865 dan meninggal pada 1 Juli 1868. Sedangkan Nisan yang kedua adalah seorang pria yang meninggal pada usia 46 tahun atas nama JOHAN CHRISTIAAN DOM. Ia lahir di Tulungagung (Kediri) pada 4 Agustus 1832 dan meninggal di Magelang pada 23 Juni 1879. Kemungkinan, keduanya adalah ayah dan anak.
Nisan Johan Christiaan Dom yang pecah tiga bagian
Lantas, siapakah Johan Christiaan Dom? Ia adalah anak dari Pieter Frans Dom sekaligus cucu dari Jacobus Dom. Jocobus Dom adalah pria asal Antwerp, Belgia yang merantau sampai Hindia Belanda dan meninggal di Yogyakarta pada 1810 sebelum penaklukan Raffles. Ia menikah dengan Sriema Dom serta dikaruniai 4 orang anak yang mana salah satunya adalah Pieter Frans Dom, ayah dari Johan Christiaan Dom.
Ayah Johan tercatat pernah menikah sebanyak 3 kali dimana salah satu istrinya adalah orang Jawa bernama Raden Ajeng Sampit. Tak pelak, Johan memiliki 15 orang saudara yang tinggal di berbagai kota, seperti Jogjakarta dan Surakarta.
Johan tercatat pernah menikah sebanyak dua kali. Istri yang petama ia nikahi bernama Mian N.N dan dikaruniai 1 orang putri. Tidak banyak yang diketahui mengenai Mian baik kapan dan dimana ia lahir dan meninggal. Yang jelas anak Johan dan Mian lahir di Yogyakarta pada 1852.
Johan kemudian menikah lagi dengan Anna Geertruida Zeijde pada 20 November 1858. Dari pernikahannya ini, mereka berdua dikaruniai 7 orang putra dan putri. Anna meninggal dunia pada 7 Juni 1879 dalam usia 42 tahun. Johan Christian Dom sendiri meninggal berselang 16 hari pasca kematian istri tercintanya ini, yaitu pada 23 Juni 1879 di Magelang. Nisan Johan sekarang masih bisa ditemukan dipekarangan rumah warga di Kampung Kerkopan dalam keadaan pecah. Nama keluarga Johan yang bermarga Dom juga pernah keluar dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad pada 7 Februari 1931 dalam kaitanya mengenai pemakam tua milik kakeknya yang ada di belakang pasar di Yogyakarta.
Potongan berita mengenai makam tua di belakang Pasar Bringharjo milik Keluarga DOM
Nisan lain yang dulu sempat pernah ada dan dijadikan penutup selokan namun sekarang sudah hilang adalah nisan milik seorang bayi bernama Paulus Petrus Nicholaas Martherus yang lahir pada 20 September 1851 dan meninggal pada 14 Desember 1851. Ada juga makam milik Constantinus Hendrik Gerhard bermarga van Zijl de Jong yang lahir pada 1834 dan meninggal pada 1876 dalam usia 42 tahun. Berdasarkan surat kabar Bataviaasch nieuwsblad yang terbit pada 24 Januari 1931, monumen makamnya masih berada di makam tua Kerkopan ini.

Para Pencari Trah di Tanah Hindia
Bagi siapa saja yang peduli dengan sejarah keluarga atau tertarik dengan asal - usul keluarganya, sudah barang tentu akan menemui kesulitan dalam melacak silsilah keluarga jika catatan dan informasi tersebut minim atau bahkan tidak ada. Terlebih lagi pada masa kolonial Hindia - Belanda dimana sistem pencatatan sipil warga Eropa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian baru diterapkan pada 1 Oktober 1828. Pun peraturan tersebut pada paraktiknya belum setertib dan serapi layaknya di Batavia dan negeri induk, Belanda.
Lantas bagaimana para pencari silsilah dan sejarah keluarga melacak garis leluhur mereka ketika catatan sipil sangat minim? Tak lain dan tak bukan semuanya kembali ke pemakaman. Hampir semua yang meninggal disepanjang abad ke-19, baik sebelum tahun 1828 dan setelah tahun tersebut sangat bergantung pada epithap (keterangan pada batu nisan) untuk melacak silsilah keluarga.
Dalam kondisi yang demikian, beruntung sekali pemerintah Hindia Belanda menunjuk seorang Paul Constant Bloys van Treslong Prins sebagai wakil urusan pengarsip tanah negara. Tidak hanya pandai dalam bidang kearsipan, ia ternyata juga seorang yang ahli dalam hal genealogis (silsilah) dan lambang heraldik pada nisan pemakaman.

Tuan P.C Bloys van Treslog Prins
Salah satu contoh kasus yang berhasil Tuan P.C Bloys van Treslog Prins pecahkan adalah sebuah nisan tua di Kerkhof Kampung Kerkopan. Dikisahkan pihak keluarga ingin melacak leluhur mereka yang bernama Gerlach. Namun, kantor catatan sipil tidak banyak menuliskan keterangan yang bisa digali kecuali nama belakang Gerlach dan tempat kelahiran di Surakarta serta estimasi umur ketika meninggal. Maka dari itu untuk mencari tahu asal usul keluarga Gerlach tidak lain adalah dengan pergi langsung ke pusaranya di Kerkhof.
Pada nisan keterangan tentang Gerlach bisa dilihat dengan jelas. Diatas atas batu nisan itu tertulis “ Disinilah terbaring Hermanus Gerlach, lahir di Suracarta pada 4 Mei 1800 - Meninggal di Magelang pada 1 Oktober 1839 “. Dari sana banyak keterangan yang bisa didapatkan seperti nama depan, tanggal lahir dan tempat lahir, serta tanggal meninggal dan tempat meninggal ditulis dengan lengkap. Ketika catatan negara tidak bisa memberikan keterangan yang detil, maka nisanlah yang berbicara dengan gamblangnya.
Foto Nisan dan Makam yang dianalisa oleh Tuan P.C Bloys van Treslog Prins
Sebuah pekerjaan yang dulunya memakan waktu berhari - hari, berkat adanya tuan Paul Constant Bloys van Treslong Prins bisa rampung dalam waktu singkat. Tuan Prins telah menerbitkan berbagai macam tulisan terutama di bidang silsilah dan heraldik sejak tahun 1900. Ia juga pernah menjadi anggota dewan Royal Dutch Society for Gender and Heraldry pada 1901 dan menerbitkan majalah De Nederlandsche Leeuw. Selain itu ia juga menerbitkan berbagai majalah lain antara lain De Wapenheraut dan De Navorscher. Tuan Prins pensiun sebagai Aparatur Sipil Negara pada bulan Agustus 1936 dan meninggal dunia di Batavia pada 30 Oktober 1940.
Demikianlah seri terakhir dari Kerkhof lama Kampung Kerkopan. Semoga bermanfaat.
- Chandra Gusta W -

Komentar