Sekolah Anak Priyayi Pencetak Generasi Pertama Korps Pangreh Praja
Sejarah berdirinya hoofdenschool atau Sekolah Raja berawal dari berdirinya sekolah percobaan bagi pencetak pegawai negeri di Tondano pada 1865. Tujuan pendirian Hoofdenschool tidak lain adalah untuk mendidik kalangan bumiputra agar bisa bekerja dalam korps pemerintahan pribumi (Indlandsch Bestuur).
Kebutuhan pegawai dengan kemampuan memadai dalam pembuatan laporan administrasi yang rumit dengan biaya yang murah adalah alasan lain dibalik dibentuknya beberapa Sekolah Raja di Hindia. Dengan ekspektasi yang demikian itu maka para lulusan Hoofdenschool nantinya akan ditempatkan di kantor - kantor pemerintahan dengan posisi yang baik dengan penghidupan yang relatif mapan.
Setelah dirasa berhasil dengan hasil lulusan Hoofednschool di Tondano, maka berdasarkan Keputusan Gubernur Jendral tahun 1878, sekolah - sekolah serupa mulai banyak dibangun di pulau Jawa yang meliputi kota - kota seperti Bandung, Probolinggo dan Magelang.
Penerimaan siswa dan pembelajaran Hoofdenschool Magelang sudah dimulai pada 29 April 1879. Hoofdenschool Magelang baru secara resmi dibuka 10 Desember 1879 atau satu tahun setelah keputusan Gubernur Jendral keluar. Upacara peresmian Hoofdenschool Magelang dihadiri oleh Residen Kedu dan Kapiten China Magelang beserta siswa dan tamu undangan. Kepala sekolah yang pertama adalah Tuan Stoutjesdyk yang dibantu oleh dua orang guru bantu dan tiga orang guru pengajar.
Pada awal berdirinya, Hoofedenschool Magelang masih belum memiliki gedung sekolah sendiri. Angkatan pertama sekolah ini berjumlah 60 orang siswa yang dibagi menjadi beberapa kelas. Beberapa anak pejabat dan kerabat kepala daerah penting juga bersekolah disini, sebut saja diantaranya terdapat dua orang putra dan dua orang saudara laki - laki Bupati Temanggung, Raden Tumenggung Holand Soemodirjo.
Biaya sekolah yang dikenakan setiap bulannya sebesar f 10 dengan lama masa studi 4 tahun. Beberapa diantaranya juga ada yang dibebaskan dari biaya sekolah. Batasan usia siswa yang dapat diterima di Hoofdenschool Magelang adalah mereka yang berusia antara 14 - 20 tahun.
Sebagai sekolah lanjutan dari sekolah rendah di wilayah Jawa bagian tengah, maka Hoofedenschool juga menerapkan sistem asrama bagi para siswa yang berasal dari berbagai daerah. Para siswa ini tinggal dirumah Mantri (staff pengajar) didekat sekolah dimana 1 kamar diisi oleh 4 orang siswa. Bagi mereka yang tidak tinggal di asrama mendapatkan akomodasi gratis. Selain itu, para siswa Hoofdenschool juga mendapatkan fasilitas berupa asupan makanan dan seragam sekolah.
Karena dirasa kurang representatif lagi, maka beberapa tahun berikutnya, para siswa Hoofdenschool Magelang berpindah lokasi ke bekas gedung Hotel Kedu di kawasan Sablongan, Pecinan, Magelang.
Pada bulan Februari 1885, terjadi penutupan Kweekschool voor Indlandsche Onderwijzers Magelang (Sekolah Guru Bumiputra) karena alasan rendahnya mutu lulusan dan penghematan biaya. Maka pada tahun tersebut, Hoofdenschool pun berpindah lokasi ke eks-gedung Kweekschool (Polresta) di selatan alun - alun Magelang.
Pada awalnya, mata pelajaran yang diajarkan di Hoofdenschool kala itu selain mata pelajaran kepemerintahan ditambah juga ilmu pertanian, survey lapangan dan bahasa Belanda. Bahasa Melayu masih menjadi pengantar utama dalam menyampaikan materi pembelajaran.
Pada tahun 1893 Dinas Pendidikan Kolonial Hindia Belanda menunjuk Hoofdenschool Magelang untuk menambahkan mata pelajaran Perinsip Ilmu Hukum dan Hukum Dasar Negara dan Pemerintahan Hindia Belanda kedalam silabus pembelajarannya. Tujuan dari penambahan mata pelajaran ini tidak lain adalah untuk memberikan model pendidikan vokasi bagi para bumiputra yang disiapkan menjadi Jaksa dan anggota dalam persidangan bagi kalangan pribumi. Ketika penerapan mata pelajaran ini dinilai berhasil, maka mata pelajaran serupa juga diterapkan di seluruh Hoofdenschool di Hindia Belanda. Memasuki akhir abad ke-19, tepatnya pada bulan November 1899, Bahasa Belanda secara resmi dijadikan bahasa pengantar untuk semua mata pelajaran di Hoofdenschool menggantikan bahsa Melayu.
Kisah Hoofdenschool Magelang harus berakhir ketika terjadi reorganisasi dan restrukturisasi pendidikan sehingga mengakibatkan berubahnya nama Hoofdenschool menjadi Opleidingschool voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada bulan Agustus 1900.
- Chandra Gusta W -
Disarikan dari buku Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan, Surat kabar Bataviasch Niewsblad terbitan 13 Mei 1914, Surat Kabar de Locomotief terbitan 13 Desember 1879 dan buku The Voice of the Law in Transition : Indonesian Jurists and Their Languages
Komentar
Posting Komentar