MENYERET CANDU DI TANAH KEDU

Mengenang Opium di Magelang 

Candu atau Opium sudah lama beredar di Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Ketika para pelaut Belanda pertama mendarat di Jawa pada abad ke-16, opium sudah menjadi komoditas penting didalam perdagangan sehari - hari di Jawa. Konon, para pedagang Arablah yang pertama kali memperkenalkan candu dari Turki pada orang - orang Jawa. Opium baru benar - benar menjadi barang monopoli VOC pasca perjanjian dengan Amangkurat II yang berisi penyerahan daerah pesisir utara Jawa beserta bandar - bandar pelabuhannya. Rata - rata opium mentah yang masuk ke Jawa sejak berlakunya perjanjian itu hingga kejatuhan VOC pada 1799 adalah sekitar 56 ton pertahun. Dari kota - kota pesisir inilah candu - candu itu mulai masuk dan menyesapi masyarakat Jawa yang tinggal jauh dipedalaman selatan, tak terkecuali Karesidenan Kedu, dan Magelang pada khususnya.
Foto Sunan Pakubuwono X (belakang atas), Bupati Magelang Danusugondo (beskap hitam) dan Kapitan Tionghoa Magelang Kwee An Kie (depan berbaju putih memegang topi)

Pasca berakhirnya Perang Jawa, semakin stabilnya keamanan dan ekonomi serta penerapan Sistem Tanam Paksa di Jawa pada 1830, maka pemerintah Kolonial Belanda semakin banyak menawarkan lisensi Pak - Pak Opium Resmi pada para penawar lelang tertinggi. Kebanyakan lelang - lelang pak tersebut jatuh kepada kongsi - kongsi orang Tionghoa. Memang tidak bisa dipungkiri, bisnis dari candu dan pajak hasil dari penjualan candu merupakan salah satu sumber pemasukan kas Belanda yang signifikan sehingga perdagangan candu difasilitasi dengan baik oleh pemerintah kolonial kala itu.
Di Magelang, seorang Tionghoa dari Solo bernama Be Tjok Lok diangkat menjadi seorang Letunant Tionghoa oleh pemerintah Kolonial karena jasanya selama perang. Selain tugasnya sebagai seorang Letnan Tionghoa, Be Tjok Lok juga menggeluti usaha pegadaian dan Pak Candu yang membuat ia menjadi orang Tionghoa kaya raya di Magelang. Ia pernah bernadzar untuk mewakafakan tanahnya disebelah selatan alun - alun Magelang untuk dibuatkan sebuah tempat ibadah berupa Klenteng yang sekarang disebut Liong Hok Bio. Pada bulan Juli 1864, Klenteng Liong Hok Bio sudah mulai diresmikan.
Pak Opium di daerah Magelang, pada 1870 - 1871 juga dinyatakan pernah dikuasai oleh Kongsi Pak milik Tan Tjong Hoay yang memiliki lisensi pak di karesidenan Kedu, Semarang dan Batavia. Namun, karena kesulitan finansial pada kongsi Pak nya, maka ia menunggak hutang dengan total defisit hingga mencapai hampir 750 ribu Gulden. Karena tunggakannya yang menggunung inilah, maka ia terpakasa masuk bui dan menjual semua aset warisan keluarganya. Terlebuh lagi, ia juga diturunkan dari jabatannya sebagai Mayor Tionghoa di Semarang pada 1878.
Keluarga Tionghoa lain yang termasyur adalah keluarga Ho Yam Lo. Ia dan kongsinya menguasai pak candu paling menguntungkan di Jawa Tengah yaitu Pak Semarang, Yogyakarta dan Kedu pada dekade 1880an. Pada tahun 1887, anak dari Ho Tjiauw Ing dingkat sebagai Letnan Tionghoa di Semarang.
Klenteng Liong Hok Bio 1910
Sumber: KITLV
Banyaknya konsumen candu yang tersebar di karesidenan - karesidenan di Jawa Tengah, membuat salah satu keluarga Tionghoa paling berkuasa lainnya di Jawa Tengah, yaitu keluarga Be Biauw Tjoan ikut serta dalam usaha - usaha penyelundupan candu secara ilegal. Candu - candu ilegal ini berasal dari bandar - bandar Candu di Singapura yang kemudian diselundupkan lewat “corong opium” di pesisir utara Jawa seperti Lasem. Kapitan Lim Kim Sok adalah salah satu tokoh penyelundup candu dari Lasem yang cukup terkenal karena mampu membawa candu - candu yang dibongkar di pesisir bisa dikirim dan dipasarkan di Magelang.
Rumah Kongsi Pecinan Magelang 1935
Sumber : Hendro Pratomo Setyo

Bukan hanya candu saja, Be juga menguasai rumah - rumah gadai, serta pak - pak ternak kerbau dan babi. Saking berkuasanya Be Biauw Tjoan dalam dunia percanduan di Jawa Tengah, ia bahkan mampu membuat bangkrut pak candu Surakarta dengan menghujani wilayah kerja pak Surakata dengan opium - opium ilegal hasil selundupan. Be berhasil mengirimkan sang pemilik Pak Surakarta, Tio Siong Mo ke penjara karena tunggakan pajak pak yang luar biasa banyak. Bahkan, saking kayaknya, diperkirakan Be memiliki properti hampir disetiap afdeling di Jawa Tengah.
Kapitan Kwee An Kie Muda
Tokoh Tionghoa lain yang cukup terkenal di Magelang dalam piramida penjualan Pak Candu adalah Mayor Tituler Kwee An Kie pada 1893. Magelang di bawah Kwee masuk dalam kongsi pak candu milik Be Biauw Tjoan yang bercokol atas Karesidenan Semarang dan Bagelen. Candu yang menyesap dan memasuki sendi - sendi ke kehidupan orang - orang Jawa seakan - akan bisa bertahan dan terus abadi. Namun pada akhir 1880an, ekonomi dunia memasuki mengalami perlambatan, pergolakan politik di negeri Belanda dan gangguan pada tanaman pangan dan ekspor, Pak Candu yang seakan terus hidup itu pada akhirnya harus mulai mengalami krisis dan cobaan.

Asap Nirwana Pembawa Petaka

Temaram lampu minyak disertai kepulan asap putih membumbung menyesaki bilik - bilik kecil beratap daun berdinding bambu di rumah - rumah opium. Seorang pecandu berselonjor merbahkan tubuhnya di atas bale menyesap asap - asap nirwana itu dibantu oleh para pekerja wanita yang menyediakan ramuan - ramuan candu. Kegiatan menyesap candu, berdasar memori kolektif di Magelang lazim disebut sebagai nyeret atau ngeses.

Berbagai perlengkapan menyesap candu seperti alat hisap berbentuk pipa - pipa bambu atau badudan dan olahan - olahan campuran gula, candu, dan rajangan daun awar - awar yang berbentuk bola yang disebut tike adalah produk olahan candu yang biasa disediakan di rumah - rumah opium. Bagi mereka yang tidak bisa menyesap di pondok - pondok opium dengan cara konfensional seperti itu, para pecandu dengan kreatifitasnya mampu memodifikasi cara menyesap candu dengan bermacam cara, diantaranya membuat alat hisap dari batang daun pepaya, mengolah candu yang dicampur dengan tembakau kemudian dibungkus daun jagung layaknya cerutu dan dihisap atau bahkan candu yang dicampur kedalam kopi untuk diminum adalah cara - cara unik orang Jawa dalam menikmati candu. Istilah - istilah seperti udud dan ngeses masih bisa ditemui untuk menyebutkan kegiatan menghisap rokok di Magelang. Penambahan serapan lema bahasa jawa udud dan ngeses di Magelang yang masih hidup hingga sekarang adalah salah satu bukti Pak Opium pernah beriaya pada 1860 - 1880an.

Gambaran litografi aktivitas menyeret candu di Jawa karya Auguste van Pers

Menghisap candu sudah merupakan ciri masyarakat baik di desa dan di kota pada abad ke-19. Bagi orang - orang Tionghoa peranakan, kebiasaan menyesap candu biasa mereka lakukan di kediaman mereka masing - masing atau di klub - klub kongsi eksklusif mereka. Sedangkan bagi para Priyayi Jawa, Candu adalah sajian istimewa bagi tamu - tamu mereka ketika ada hajatan besar.

Meningkatnya kemakmuran orang - orang Jawa pasca dihapuskannya Sistem Tanam Paksa dan pemberlakuan Undang - Undang Pokok Agraria pada 1870 membuat jumlah pengguna candu dari kalangan pekerja perkebunan juga ikut melonjak. Dari rata - rata upah kerja harian sebesar 20 sen yang mereka dapat, sekitar 5 sen atau seperempat penghasilan harian mereka digunakan untuk membeli candu. Konsumsi harian candu untuk tiap orang yang dilayani oleh Pondok Opium adalah 76 gram opium per hari. Meningktnya konsumsi opium di Jawa juga didorong dengan kepercayaan bahwa mengonsumsi candu dapat menyembuhkan luka luar, penyakit Malaria, TBC, Disentri dan Capek.

Jumlah pengguna yang banyak dan sedikitnya pasokan opium dari pemerintah menyebabkan kasus - kasus penyelundupan Opium Ilegal merebak dimana - mana. Menurut Castens, seorang pejabat Opium Belanda mengatakan sekitar 60% opium yang dikonsumsi adalah opium ilegal. Hal ini tentunya sangat mengganggu hasil penjualan Pak Opium resmi.

Untuk mengatasi Opium Ilegal yang merajalela yang berdampak pada penurunan hasil keuntungan Pak Opium dan Pajak Pak bagi Kas Belanda, maka dibentuklah sebuah satuan tugas khusus (satgas) pemburu Opium Ilegal yang dipimpin oleh Te Mechelen yang bekerjasama dengan beberapa Pak - Pak Opium resmi.
Foto aktivitas menyeret candu di bilik - bilik agen opium
Sumber : Pinterest

Awal awal dekade 1880an adalah tahun - tahun yang indah dan penuh kemakmuran di Jawa. Semakin mantapnya implementasi UU Pokok Agraria, penggrebekan gudang - gudang opium ilegal yang marak, jalur kereta api yang semakin luas, terbangunnya belasan pabrik gula baru dan melimpahnya panen kopi membuat masa depan Pak - Pak Opium di Jawa terlihat cerah. Namun, dibalik semua kemakmuran ini, pada dekade yang sama, beberapa rentetan kejadian tak terduga akan membuat para raja - raja opium di Jawa harus ramai - rami menutup usahanya.

Kejatuhan Para Raja Candu di Jaman Baru

Kemakmuran yang dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat pada awal dekade 1800an membuat para raja candu (pemilik pak candu) terlena dan ramai - ramai menawar hak konsesi monopoli pak hingga 1,7 juta gulden lebih tinggi dari penawaran hak monopoli candu di tahun sebelumnya. Optimisme masa depan pak - pak candu terlihat cerah didepan mata.

Namun, para raja - raja yang terlena dengan kejayaan mereka ini tidak menyangka bahwa hembusan angin aneh pada akhir 1870 telah membawa penyakit daun pada tanaman kopi. Penyakit daun pada kopi ini membuat kopi meranggas dan tanah menjadi tandus. Kemalangan lain merebak ditahun 1882 ketika penyakit sirih menyerang tanaman tebu di daerah Cirebon. Dalam jangka 8 tahun berikutnya, penyakit ini merambat ke timur, menjangkiti semua tanaman tebu dan menghancurkan perkebunan - perkebunan tebu di Jawa Tengah. Berlimpahnya beras akibat Panen raya padi antara 1887 hingga 1888 membuat harga padi jatuh sehingga perputaran uang di desa - desa macet. Para petani terpaksa menggadaikan perabotan rumahnya dan para priyayi menjual pusaka mereka. Semua ini diperparah lagi dengan mewabahnya penyakit mulut dan kuku pada binatang ternak yang sudah barang tentu menghancurkan perekonomian mereka.
Prosesi pemakaman warga Tionghoa pada masa kolonial
Sumber: Pinterest

Di kancah global, harga komoditas ekspor Hindia - Belanda unggulan seperti gula dan kopi anjlok di pasaran dunia. Pasar Eropa dibombardir gula bit petani Jerman yang membuat bertanam tebu adalah hal yang merugikan. Pabrik gula di Jawa mulai rontok satu persatu pada 1884. Tiga tahun berselang, produksi kopi turun hingga 1/5 total produksi tahun sebelumnya. Ekspor kopi dari Hindia ke Eropa turun mencapai kurang lebih 16 ribu matrik ton.

Rentetan bencana dan kemalangan pada dekade 1880an pada akhinya berdampak pada daya beli masyarakat terhadap konsumsi candu. Pak - Pak Candu yang berkuasa mulai berguguran satu persatu. Ho Yam Lo, pemegang lisensi pak candu atas Semarang, Yogyakarta dan Kedu harus terpaksa menjual kebun - kebun dan villa mewahnya di Semarang untuk menutup hutang pajak pak. Adik Ho bahkan menyatakan bangkrut sebelum tutup buku ditahun 1889. Pada tahun yang sama, Ho Yam Lo meninggal dunia dan Pak Opium nya diurus oleh anaknya, Ho Tjiaw Ing. Ia terpaksa harus terus menanggung kerugian dan hutang pak opium warisan ayahnya. Tunggakan hutang pajak pak itu hampir membuatnya masuk jeruji besi jika ia tidak membayar pajak dari hasil penjualan propertinya yang hanya laku 2 juta Gulden pada 1893.
Gambaran pekerja pada pabrik - pabrik tebu yang tersebar di jawa pada tahun 1800an hingga 1900an awal
Sumber: Pinterest

Semua faktor - faktor penyebab runtuhnya sistem pak opium di Jawa tersebut diperparah lagi dengan terbongkarnya skandal penyelundupan opium ilegal oleh pengepak resmi dan sentimen anti opium (yang cenderung anti pak daripada anti opium) di majelis rendah parlemen Belanda. Hal - hal ini menjadikan para raja candu di Jawa berada di ujung tanduk. Akhirnya, dipenghujung 1896, sebuah sistem penjualan candu yang baru, Regi Opium, secara resmi menggulung sistem Pak Opium yang sudah bercokol sekian lama di Jawa. Zaman baru pun dimulai, Rezim Regi Opium. 

Hutang Moral yang Menitis ke Politik Etis

Pada awal - awal dasawarsa abad ke-20, Ratu Wilhelmina secara resmi menyatakan penyesalannya atas eksplotasi tanah jajahan di Hindia selama ini. Atas hal tersebut, maka program - program peningkatan kesejahteraan rakyat di tanah jajahan mulai diimplementasikan. Haluan politik Negeri Belanda pun berubah dengan jargon Politik Etis.

Salah satu simbol dijalankannya politik etis di Hindia adalah Regi Opium yang didedikasikan untuk meningkatan kesejahteraan rakyat. Di bawah departemen Regi Opium, segala urusan yang berkaitan dengan Candu mulai di pusatkan di Batavia. Bahkan pada 1901, pabrik pembuatan candu yang moderen dan terstandarisasi dibuat diluar kota Batavia dengan jumlah pekerja lokal pada awalnya sekitar 600 orang bertambah hingga 1000 buruh candu pada 1913. Produk - produk candu seperti tike yang dulunya dibuat dengan takaran asal - asalan pada era Pak Opium, mulai berganti dengan produk tike yang tersertifikasi.
Foto papan petunjuk regi opium resmi di Solo yang menggunakan lima bahasa, Belanda, Aksara Tionghoa, Arab pegon, Jawa dan Melayu
Sumber: Pinterest

Secara struktural, pada tiap karesidenan setidaknya terdapat depot opium resmi dimana ia menjadi pemasok utama regi - regi opium. Sebuah toko regi opium menjual candu olahan dari Batavia langsung kepada konsumen dari tangan seorang mantri penjualan. Hasil penjualan opium kemudian akan diserahkan kepada asisten kolektor yang mana adalah jabatan tertinggi seorang bumiputra dalam struktur hierarki Regi Opium.

Sistem perekrutan pegawai Regi yang pada awalnya diambil dari korps pangreh praja dihapus pada 1910 dengan memberikan kesempatan pada para lulusan sekolah pemerintah untuk magang dan menduduki posisi - posisi dalam hierarki birokrasi Regi. Dengan pengambilalihan wewenang monopoli pengolahan dan penjualan candu dari tangan pengepak Tionghoa pada abad sebelumnya ke tangan para bumiputra di jaman yang baru ini, Pemerintah Kolonial mempresepsikan bahwa tujuan Politik Etis untuk membalas budi sudah tercapai.

Menjelang tahun 1904, penjualan candu disebagian besar karesiden, termasuk Magelang meningkat. Bahkan pada 1905 keuntungan penjualan candu sudah melampaui keuntungan pak - pak opium pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Pada tahun itu, candu menghasilkan 20 juta Gulden, atau hampir 16 % dari total pendapatan Kas negara.

Pembelian candu di Magelang berdasar Peta Topografi tahun 1940, terdapat di dua lokasi. Penjualan opium dipusat kota Magelang terletak di belakang pecinan kota yaitu disebelah barat (sekarang Jl. Jenggolo / pada peta ditunjukkan dengan no.13) dan satu lagi diluar kota, lebih tepatnya di daerah Tempurejo. Kedua Regi Opium tersebut di dalam peta diberi nama Opiumverkoopplaats.


Peta pada tahun 1940an tentang lokasi penjualan regi opim resmi di Kota Magelang (lokasi sekrang diperkirakan disekitaran Es Eny Pecinan, Magelang
Sumber: KITLV

Peta pada tahun 1940an tentang lokasi penjualan regi opim resmi di pinggiran Magelang (lokasi sekrang diperkirakan disekitaran Tanjung, Tempurejo, Magelang
Sumber: KITLV

Para penikmat candu pada masa Regi, diwajibkan untuk membeli opiumnya di toko - toko resmi dan me-nyeret nya di pondok - pondok opium berlisensi. Aturan lain bagi para konsumen candu adalah terdapatnya batasan umur pengguna yang secara bertahap mulai diimplementasikan pada 1909. Hal tersebut dimaksudkan untuk menekan jumlah pengguna opium di kalangan usia produktif di Hindia Belanda.

Kebangkitan dari Keterpurukan

Tahun awal berlakunya Politik Etis adalah tahun - tahun terberat bagi komunitas Tionghoa peranakan di Jawa. Kebangkrutan pak - pak opium yang dulunya membentuk struktur tatanan sosial - ekonomi masyarakat peranakan menjadikan pengalaman traumatis mendalam bagi komunitas ini. Datangnya era baru ketika abad berganti membuat generasi - generasi baru peranakan harus bertahan hidup dibawah tekanan arus modernisasi yang revolusioner ini.

Runtuhnya kekuasaan raja - raja candu atas jaringan pak opium yang sudah ada di abad lalu, mengakibatkan akses mereka terhadap sumber - sumber ekonomi yang dulu ada menghilang. Semua ini diperparah dengan adanya sentimen anti - Tionghoa dari kalangan Jawa dan Belanda yang berkembang pasca politik etis. Selain itu, penerbitan surat jalan pada 1897 dan izin tinggal pada 1900 membuat komunitas peranakan tidak bisa leluasa bergerak.
Gedung THHK pada tahun 70an

Runtuhnya sistem kerja pak opium juga pada akhirnya membuat sistem opsir Tionghoa bubar pada 1931. Sistem opsir dianggap sudah tidak relevan lagi karena tidak membawa manfaat lagi secara ekonomi bagi pemerintah kolonial. Tantangan lainya bagi kaum peranakan Tionghoa - Jawa disaat itu juga dikarenakan banyaknya imigran - imigran baru yang berdatangan dari Hakka dan Kanton yang tidak mau membaur dengan mereka (leluhur Tionghoa pertama adalah imigran dari Hokkien) karena runtuhnya patronase pak opium dan persaingan dengan para pedagang Arab dan Jawa.

Angin perubahan mulai berhembus sejak orang - orang peranakan menyekolahkan anak - anak mereka ke Belanda di tahun 1880an. Proses pembaratan yang instan akibat pendidikan ini membuat golongan peranakan yang lebih senior merasa takut generasi muda mereka kehilangan akar budayanya. Maka, pada 1900, Phoa Keng Hek bersama sekitar 20 orang peranakan Tionghoa lainnya membentuk Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pertama.

Gedung HCS dan siswa sekolah pada 1930an

Pada mulanya, THHK bertujuan untuk memajukan ajaran - ajaran Kong Hu Chu dan memperbaiki perilaku dan adab generasi muda peranakan Tionghoa di Jawa. Bak jamur di musim hujan, tak kurang dari 54 sekolah THHK tumbuh menyebar di kota - kota Jawa pada 1908. Kepemimpinan di THHK berada ditangan para keluarga - keluarga peranakan terkemuka seperti para mantan raja candu di masa lalu seperti keluarga Be dan Tan. Pada 1910 para mantan raja candu ini bergabung dan membentuk dewan perwakilan se-Jawa.
Gedung THHK yang menjadi gedung aula SMA N 3 Magelang

Dalam perkembangannya, THHK berevolusi menjadi organisasi sosial politik yang berfungsi sebagai forum institusional yang membahas dan menampung keluhan warga peranakan. Salah satu hasil penting dari forum THHK adalah dibukanya sekolah - sekolah Belanda - Tionghoa (Hollandsce Chineesche School) yang disponsori pemerintah. Sekolah pertama dibuka pada 1908 dan pada 1914 sudah terdapat 27 sekolah HCS di Jawa. Di Magelang sendiri HCS dibuka pada 1913 yang menempati bangunan di Tidarweg (bangunannya masih ada dan menjadi SMK Wiyasa sekarang).
Siswa dan siswi HCS Magelang pada 1900an

Gedung THHK di Magelang masih bisa kita temui dan sekarang menjadi aula SMA 3 Magelang yang terletak di Jalan Medang. Setelah kemerdekaan, Gedung tersebut pernah berubah fungsi beberapa kali. Pada saat terjadi GESTOK pada tahun 1965, gedung tersebut dibakar. Pada tahun 70an pernah berfungsi sebagai Sekolah Pendidikan Guru, Gedung Pertunjukan seni baik musik dan ketoprak, Bioskop dengan nama Mutiara, STM 45, Kantor Lurah Rejowingangun dan terakhir menjadi aula SMA 3.
Siswa HCS di depan sekolah 1930an

Demikianlah seri tentang opium dan perkembangannya di Magelang. Tentunya, masih banyak sekali kekurangan dari penulis. Sumber - sumber tulisan ini diambil dari sumber sejarah sekunder seperti buku dan artikel. Selebihnya sumber lainnya diambil dari posting dan komentar pelaku sejarah dalam group FB Kota Toea Magelang. Lampiran foto sebagian saya unduh juga dari laman group FB yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian.

Daftar Pustaka
- Rush, James R. Candu Tempoe Doeloe terbitan komunitas bambu.
- website : budayationghoa.net
- KITLV untuk peta dan foto
- Kumpulan postingan dan komentar yang relevan di group Kota Toea Magelang dengan kata kunci : Candu, Opium, THHK, dan HCS

Komentar