Pagi
itu matahari belum setinggi galah. Langit layaknya kertas buram. Seorang yang
hari sebelumnya ikut jelajah di Plered menambah rasa galau. Pasalnya, ia
berujar bahwa ia kena semprot hujan waktu ikut jelajah. Hal ini menambah rasa
was – was kalau hujan juga mengguyur waktu acara nanti. Tapi tak apalah, tekad
sudah bulat. Kali ini aku putuskan untuk menjelajahi jejak – jejak kerajaan
Mataram Islam bersama kawan – kawan komunitas Malam Museum.
Bus
– bus berjejer memanaskan mesin diselnya bersiap memulai perjalanan menebas
jarak. Ke timur Yogyakarta adalah tujuan orang – orang ini. Surakarta.
Perkiraan
lama perjalan Jogja – Solo adalah dua jam. Bisa lebih dari itu mengingat ada
proyek bikin betul jalan yang belum rampung disekitar Klaten. “Sial!” kataku,
“kenapa dangdut koplo yang diputar?”. Lagu dangdut kompilasi itu diputar sopir
bus sepanjang perjalanan. Tak pelak aku putuskan tidur saja.
Jam
menunjuk pukul 10 ketika rombongan tiba di kantong parkir. Prediksi hujan macam
tempo hari tidak terbukti. Udara lembab panas menyengat. Solo panas. Kami berjalan
melewati Kori Kamandungan. Ada abdi kraton berpakaian lengkap menjaga gerbang
dengan pedang dipinggang. Dua buah kaca berukuran akbar menggantung di kanan kiri
dinding. Katanya, kaca itu bernama “Mulat Slira”, barang siapa yang mau bertemu
Sunan ia harus berkaca dan melihat dirinya sendiri disana. Sambil lalu, kami langsung
berjalan menuju bagian dalam museum. Sambil
jeprat – jepret sebentar dan memikirkan apa saja yang bakal ditulis nanti.
Kori Kamandungan dengan dua orang
prajurit Kraton Kasunanan Surakarta.
Keraton Surakarta : Nafas Kerajaan Mataram Islam di Tanah Kasunanan
Jika
menilik dari sejarahnya, Keraton Surakarta sendiri berdiri karena dampak pusaran
konflik panjang Mataram Islam sejak berdirinya di abad ke-16. Pemberontakan
Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) dan etnis Tionghwa yang berhasil menduduki
Keraton Kartasura pada 1741 sebagai buntut dari Geger Pecinan, harus membuat Pakubuwono II meninggalkan istananya
ke Ponorogo. Bertekad mengembalikan singgasananya di Kertasura, Pakubuwono II
menyerang keratonnya sendiri dan berhasil merebutnya. Porak – poranda, ia tak
sudi lagi tinggal dibekas keraton yang hancur dan memutuskan untuk memindah
lokasi keratonya ke sebelah timur Kertasura, disebuah desa kecil dipinggir rawa
Bengawan Solo. Desa Sala. Dengan berpindahnya Keraton dari Kartasura, hal ini
menjadi awal era Mataram Islam yang baru dengan pusat pemerintahan di
Surakarta.
Perpindahan
ibu kota ke Surakarta ternyata masih belum membuat pemerintahan Pakubuwono II
aman dari ancaman. Sampai ia mangkat pada 1749, Mataram masih belum sepenuhnya
selesai dari konflik internal. Golongan bangsawan dan orang – orang yang sakit
hati karena sang junjungan Sunan Pakubuwono II malah berbelok memihak VOC
membuat pemberontakan berkobar. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa lah
yang menjadi ujung tombak perlawanan terhadap Mataram Islam. Perang Suksesi Jawa ke-3 tak dapat
dihindarkan. Konflik semakin meluas ketika Pakubuwono II mangkat. Sang penerus
Mataram Islam, Pakubuwono III berperang mempertahankan Mataram melawan pamannya
sendiri, Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Raja di Yogyakarta. Pangeran
Sambernyawa dan Mangkubumi akhirnya berkoalisi melawan Mataram dan VOC walaupun
pada akhirnya mereka harus pecah kongsi pada 1752.
Setelah
lobi – lobi politik yang panjang, maka tepat pada 13 Februari 1755, kesepakatan
memecah Mataram pun telah terkunci di sebuah desa di tenggara Karanganyar. Desa
Giyanti. Wangsa Mataram yang besar akhirnya terpecah menjadi dua setelah
Perjanjian Giyanti itu. Separuh kerajaan dibagi untuk Pangeran Mangkubumi dan
mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan bagian lainnya kepada Pakubuwono
III dengan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kori Kamandungan dengan Panggung
Sanggabuwana
Aku
dan rombongan tiba diloket masuk wisatawan. Kami disambut oleh patung perunggu
raksasa Sri Susuhunan Pakubuwono VI. Ia adalah raja Surakarta yang lantang menentang
dominasi Belanda atas jawa. Sempat bermaksud bergabung dengan Diponegoro dan
perang jawanya, Sang Sunan akhirnya dibuang ke Ambon hingga akhir hayatnya.
Beliau mangkat karena didor oleh Belanda tepat di dahi.
Pintu masuk wisatawan ke dalam Kraton
Kasunanan Surakarta dengan patung Pakubuwono VI
Tak
berapa lama menunggu diloket masuk, Aku masuk bersama yang lain dipandu oleh
seorang abdi wisata menuju kedalam kompleks dalam kraton. “Mohon maaf bagi
rombongan yang memakai sandal harap melepaskan sandalnya, dan yang bersepatu
tidak apa – apa.” kata pria itu. Setelah beberapa orang melepas sandalnya, kami
berjalan memasuki halaman dalam kedaton yang rindang. Tujuh puluh tujuh pohon
sawo kecik tertancap dihalaman. Konon, dihari ulang tahunnya yang ke-77, Suanan
Pakubuwono IX memberi perintah untuk menanam
pohon sawo kecik yang artinya “sarwo
becik” (serba baik) itu disana. Angin disini membuat nyaman. Panasnya Solo
tidak terasa.
Halaman pelataran Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta
“Pasir
ini berasal dari pantai selatan,” ujar abdi wisata itu, “banyak pengunjung yang
mengambil pasir ini untuk ngalap berkah.”
sambil Ia menunjuk sebuah papan larangan mengambil pasir halaman kedaton.
Bergeser
sedikit, pria berbaju batik merah jambu itu menunjukkan 3 buah bangsal yang
berjajar didepan bangunan utama. Tiap bangunan terbuka itu punya fungsi masing
– masing. Bangsal Pradangga tempat
gamelan ditabuh, Bangsal Musik tempat
memainkan orkestra klasik barat dan Bangsal
Bujana tempat pengawal tamu kasunanan dijamu.
Bangsal – bangsal yang berderet
dihalaman Kedaton. Bangsal Pradangga, Bangsal Musik dan Bangsal Bujana.
Yang
paling menarik mata di halaman Kedaton adalah Panggung Sangga Buwana. Menjulang diatas ketinggian tiga puluh
lima-an meter, bangunan persegi delapan itu adalah pencakar langit di era
Kasunanan. Bangunan lima lantai itu dulunya digunakan sebagai tempat bersemedi
Sunan – Sunan Surakarta untuk bertemu dengan sang penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul. “Tiap Selasa Kliwon,
ada abdi dalem yang masuk dan memberi sesaji.” Selain tempat mencari wisik, Panggung Sangga Buwana juga merupakan
menara intai Benteng Vastenburg di daerah Gladak.
Panggung Sangga Buwana
Sosok
– sosok putih itu berjajar kaku terdiam menatap kosong dibibir beranda. Mereka
memagari bangunan utama dari kompleks dalam Kedaton Surakarta. Sasana Sewaka. Patung dewa – dewi khas
romawi, tiang – tiang besi bikinan
eropa, lampu – lampu gantung kristal berbalut kain kuning dan pot – pot dari
champa dipadukan dengan bangunan pendapa beratap tajug, bertiang ukiran sulur
warna emas yang khas Jawa menjadikan Sasana
Sewaka layaknya bangunan dengan desain eclectic
style.
Sasana Sewaka
Setelah
mengambil beberapa jepretan didepan Sasana Sewaka, aku dan rombongan digiring
menuju bagian dalam museum. Beberapa foto silsilah raja, artefak jaman Hindhu –
Budha, dan alat – alat yang dulu pernah dipakai dalam upacara dan kegiatan
Keraton Kasunan dipajang didalam lemari – lemari etalase. Dibeberapa bagian
museum masih terdapat instalasi bekas renovasi. Keraton memang sedang dalam
perbaikan, beberapa bagian museum ditutup untuk umum. Katanya, renovasi baru
kelar nanti bulan Desember.
Adzan
Dzuhur berkumandang sebelum pukul dua belas siang. Matahari sedang tinggi –
tinggginya dipucuk ubun – ubun. Hal itu menjadi penanda bahwa Jelajah Mataram
Islam di kompleks Keraton Surakarta sudah berakhir. Perjalanan bersama
Komunitas Malam Museum dilanjutkan ke destinasi berikutnya.
Pura Mangkunegaran: Hunusan Kegigihan Sang Pendiri Wangsa Mangkunegaran
“Tiji Tibeh, mati siji mati kabeh,
mukti siji mukti kabeh”
– Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) –
Kredo suci inilah yang
mengilhami seluruh pengikut Raden Mas Said dalam berperang melawan VOC dan dua
bekas kerajaan Mataram Islam lainnya, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Dua tahun selepas Palihan Nagari yang
memecah Trah Mataram menjadi dua kerajaan, Raden Mas Said tetap konsisten
menggempur tiga kekuatan yang mencengkram jawa itu. Ia adalah raja yang
tercatat sebagai Raja Jawa pertama yang melibatkan angakatan perang wanita
didalam pasukannya. Aroma maut yang selalu ditebar prajurit Raden Mas Said
ketika berhadapan dengan musuh membuat ia dijuluki Pangeran Sambernyawa oleh
Gubernur VOC kala itu, Nicolaas Hartingh.
Gedung Bekas Kavallerie - Artillerie saat ini, markas
Kavaleri dan Artileri Legiun Mangkunegaran yang terinspirasi dari pasukan
modern Grande Armee, milik
Napoleon Bonaparte bentukan Mangkunegara II. Pasukan militer paling modern pada
zamannya.
Sikap keras Raden Mas
Said terhadap VOC ini terus ia tunjukan sampai medio 1756. Ia yang berpikiran
bahwa Perjanjian Giyanti yang memecah belah itu hanya akal – akalan VOC, sangat
tidak sudi untuk duduk satu meja menyelesaikan pemberontakan. Ia yang sama sekali
tidak mau didekte Belanda sampai – sampai membuat VOC mengalah dengan hanya
mengirimkan saksi utusan dari Semarang ketika Perjanjian Salatiga disepakati
pada Februari 1757.
Dengan disepakatinya
Perjanjian Salatiga yang membagi Mataram Islam menjadi tiga, berakhir pula
pertikaian antara para penerus Wangsa Mataram hingga awal abad ke-19 sebelum
kebangkrutan VOC dan invasi Napoleon Bonaparte atas Negeri Belanda. Atas
perjanjian Salatiga itu, Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan sebesar
4000 cacah dan pengakuan kedaulatan penuh atas wilayah Mataram lainnya. Ia pun
menasbihkan dirinya sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegara dengan gelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I yang bertakhta atas Praja
Mangkunegaran.
Bus rombongan Jelajah
Mataram Islam tiba di Pura Mangkunegaran lewat tengah hari. Setiba di loket
masuk Pura, kuputuskan sholat dzuhur sebentar dan makan siang. Jarum jam
menunjuk pukul 13. Aku bersama rombongan dapat jatah masuk pertama kedalam
kompleks Pura Mangkunegaran.
Seorang pria paruh baya
memperkenalkan dirinya. Ia adalah abdi wisata Pura Mangkunegaran. Rombonganku adalah kelompok pertama yang masuk
kompleks dalam Pura Mangkunegaran. Aroma sentuhan eropa langsung bisa tercium. Sebuah
kolam melingkar dengan patung bayi menaiki angsa menyambut kami. Bunga padma
berwarna merah jambu menyembul diantara air – air kolam yang berwarna hijau
itu. Di belakang kolam itu sebuah bangunan pendapa besar megah berdiri. Pendapa
Agung Mangkunegaran.
Kolam air dengan patung bergaya klasik eropa berbentuk
bayi yang sedang menunggangi angsa didepan Pendapa Agung Mangkunegaran
Melangkah masuk ke
teras depan pendapa, empat ekor singa Afrika berwarna emas duduk menyambut.
Tertempel plakat pabrikan Jerman dibawah patung patung itu. Lembaran plat baja
utuh terpasang di langit – langit depan pendapa. Tiang – tiang besi penyangga berjajar
mengelilingi beranda depan dengan bentuk lengkung dan ornamen hiasan wajah
mengintip di sisi – sisinya. “Pendapa ini unik,” pikirku, “ornamen dan nuansa eropa
sangat kental sekali.”
Patung singa teras dalam Pendapa Agung Pura Mangkunegaran
Bapak pemandu itu meminta
rombongan melepas alas kaki tepat sebulum anak tangga pertama masuk pendapa.
Lantai marmer impor asli dari negerinya Mussolini mendinginkan udara diteriknya siang itu. Kami
duduk disana sembari diberikan penjelasan mengenai sejarah, arsitektur bangunan
pendapa, dan seluk – beluk lingkup kompleks Pura Mangkunegaran.
“Bisa dilihat, bahwa
pendapa di Pura Mangkunegaran ini adalah yang terbesar diantara istana – istana
lain di Jawa.” kata pria itu. Dan memang betul, “soko guru” pendapa ini luar biasa megah. Emapt pilar penyangga
bangunan terbuat dari kayu jati tegak utuh bercat hijau telor dan kuning atau pare anom. Warna – warna ini adalah
identitas khas Wangsa Mangkunegara. Tinggi menjulang ditengahnya terdapat lampu
gantung kiriman dari benua biru dengan material besi cor utuh berwarna emas.
Ditengah langit – langit pendapa terlukis lambang – lambang astrologi
Hindhu-Jawa dengan berbagai bentuk. Jajaran gamelan pusaka terletak disebelah
kanan dan kiri bagian Pendapa Ageng ini yang ditabuh pada acara – acara
tertentu di Pura Mangkunegaran.
Lampu gantung impor dari eropa dan ornamen hiasan lukis dilangit – langit Pendapa Ageng
dengan gambar astrologi Hindhu-Jawa yang menghiasi pendapa
Pura Mangkunegaran
Beranjak ke bagian
belakang, kami dipandu melewati pringgitan, sebuah beranda terbuka, dan
menuju bagian paling penting dikompleks Pura Mangkunegaran. Dalem Ageng. “Pura Mangkunegaran adalah
satu – satunya pura, atau istana yang bagian dalamnya, nDalem Ageng nya boleh
dimasuki umum.”
Pringgitan, beranda dalam dimana tamu – tamu VIP Pura
Mangkunegaran diterima untuk bisa langsung menuju nDalem Ageng.
“Maaf sebelumnya,
dibagian dalam sini, topi harap dilepas dan dilarang mengambil foto njih.” kata abdi wisata itu. Nuansa yang
berbeda langsung terasa di area dalam nDalem Ageng. Ruangan tertutup dengan
delapan tiang penyangga dan atap tinggi tanpa plafon dengan reng – reng dan usuk yang terlihat itu memberikan kesan megah dan mistik disaat
yang sama. Jajaran benda – benda
koleksi Pura Mangkunegaran terpajang dalam lemari – lemari kaca berinisial
“MN”. Mulai dari benda – benda alat upacara seperti baju tari, perhiasan dan
perkakas pura, hingga benda purbakala zaman Hindhu – Budha terpajang rapi dalam
etalase. Disini, bapak pemandu juga sempat menceritakan mengenai usaha – usaha
penyatuan kembali Trah Mataram yang entah kenapa selalu gagal. Ketika putri –
putri Sultan HB VII dinikahkan dengan para raja – raja di Surakarta, baik
Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran, buah kasih yang dlahirkan selalu anak
perempuan yang tidak bisa menjadi pewaris takhta. “Mungkin memang sudah
jalannya demikian.” kataku dalam hati.
Setelah cukup lama
rombonganku berada didalam nDalem Ageng, kami diantar menuju halaman belakang.
Terdapat teras dan meja kursi untuk duduk didepan kamar – kamar tidur selepas
keluar dari bangunan induk. Sebuah lorong menjembatani gedung utama menuju
bagian lain di Pura Mangkunegaran. Di ujung lorong, terdapat sebuah ruang
oktagonal dengan kaca patri warna – warni dan cat dominasi putih dengan ornamen
cat bergradasi khas teknik pewarnaan sungging
pada wayang kulit. Ruangan elok karya rancang bangun arsitek terkenal zaman
Hindia Belanda Herman Thomas Karsten itu bernama Pracimayasa.
Ruangan Bangsal Pracimayasa yang bersegi delapan dengan
perabotan meja dan kursi klasik
Matahari sudah mulai
menggeser posisinya ke arah dia tenggelam ketika aku beranjak meninggalkan Pura
Mangkunegaran. Surakarta sore itu aku tinggalkan dengan banyak cerita. Bus –
bus itu berangkat menuju destinasi paripurna. Lokasi Jelajah Jejak Mataram Islam
terakhir ini sekaligus merupakan lokasi awal berdirinya Keraton baru setelah
Kedaton Plered luluh lantak dihajar pemberontak. Kertasura adalah tujan akhir
hari itu.
Keraton Kartasura: Saksi Gelora dan Gejolak antara Rakyat dan Raja
“Seluruh jalanan dan
gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki
kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan
mayat-mayat itu.” - G.Bernhard Schwarzen, Reise in Ost-Indien –
Pembantaian besar – besaran orang Tionghwa di dalam tembok benteng Kota Batavia akhirnya menjalar ke timur menyusuri pantai utara jawa. Eskalasi pertikaian antara Persekutuan Dagang Hindia Timur, VOC dan etnis Tionghwa meluas hingga ke wilayah pedalaman Mataram. Pada awalnya, Pakubuwono II yang mendukung gerakan orang – orang Tionghwa yang menggempur markas VOC di Semarang. Ia mengirim 20.000 prajurit Mataram di bawah pimpinan Patih Natakusuma untuk bergabung dengan 3500 etnis Tionghwa disana.
Menghadapi pasukan aliansi gabungan Mataram dan
pemberontak, VOC meminta bantuan sekutunya dari Madura, Adipati Cakraningrat
IV. Serangan balasan dari poros Madura – VOC itu akhirnya berhasil memukul
mundur pasukan pimpinan Patih Natakusuma. Menyadari posisinya yang terdesak dan
kesalahannya dalam mengambil keputusan, Pakubuwono II akhirnya berbalik
mendukung VOC dan melawan orang – orang Tionghwa yang pernah ia bantu. Sikapnya
yang berbalik 180 derajat itu tentu membuat geram tak hanya orang – orang
Tionghwa, tapi juga orang – orang jawa yang bertempur melawan VOC digaris
depan.
Sentimen anti-VOC pun berubah menjadi isu anti pada
Pakubuwono II yang dianggap berkhianat terhadap sikap dan prinsip awal
perjuangan. Pasukan gabungan Jawa – Tionghwa ini mengangkat cucu Amangkurat III
yang dibuang ke Sri Lanka, Raden Mas Garendi, sebagai Sunan Amangkurat V.
Remaja yang baru berumur 12 tahun ini disebut – sebut sebagai “Raja orang Jawa
dan Tionghwa”. Ia juga lebih dikenal dengan nama Sunan Kuning.
Kartasura berhasil dimasuki oleh balatentara Jawa –
Tionghwa pada bulan Juni 1742 setelah sebelumnya mereka berhasil membuat
pasukan Mataram di front Boyolali dan Salatiga tunggang langgang. Kertasura
takluk pada 1 Juli 1742 dengan dinobatkanya Sunan Kuning di ibu kota Mataram,
Kartasura. Pakubuwono II pun terpaksa turun gelanggang menyelamatkan nyawanya
menyeberang Bengawan Solo menuju Magetan. Peristiwa ini diabadikan dalam
candrasengakalan “Pandito Enem Angoyog Jagad” – “Raja Mataram yang kehilangan
Kedatonnya”.
Sisa jebolan tembok benteng Srimanganti ketika Geger
Pecinan pecah di Kedaton Kartasura. Jebolan kemdian ditutup dengan batu bata
karena banyaknya warga kampung yang masuk kompleks pemakaman dan mengambil
beberapa batu nisan.
Bekas tempat tidur Sunan Pakubuwono II yang sangat dekat
dengan jebolan tembok Geger Pecinan yang ditandai dengan dua buah batu andesit.
Tak lama setelah kemenangan atas takhta Keraton Kartasura,
kekalahan demi kekalahan pasukan Sunan Kuning pun harus ditelan. Hal itu
diperburuk dengan terbunuhnya beberapa pimpinan pasukan Sunan Kuning diberbagai
front pertempuran. Sampai pada akhirnya
di bulan November 1742, Keraton Kartasura berhasil dikepung dari tiga penjuru
oleh pasukan aliansi Cakraningrat IV, VOC dan Pakubuwono II.
Kerusakan berat atas penyerangan itu pun tak dapat
terhindarkan. Hampir seluruh bangunan istana didalam Kedaton rata dengan tanah.
Hal ini membuat Pakubuwono II sebagai pemilik Kertasura memutuskan untuk
memindahkan pusat pemerintahannya. Kartasura yang dibangun pada masa
pemerintahan leluhur Pakubuwono II, Sunan Amangkurat II pada 1679, terpaksa
harus dipindahkan. Trunajaya dan pasukannya pernah menduduki Kedaton Plered
pada 1677 dan Sunan Kuning juga pernah menduduki Keraton Kartasura pada 1742.
Mereka memiliki alasan yang sama dalam memindahkan pusat pemerintahan. Tak
bertuahnya tanah bekas keraton yang hancur setelah pemberontakan besar
dipercaya akan berdampak buruk pada masa depan sebuah kerajaan. Perpindahan
Keraton dari Kartasura ke Surakarta menjadi penanda runtuhnya era keemasan
Keraton Kartasura.
Sekitar
pukul empat sore rombongan bus Jelajah Jejak Matram Islam tiba di Kartasura.
Bekas Keraton Kartasura ini berjarak 13
km ke barat Surakarta dan masuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Sukoharjo.
Tembok
batu bata bertinggi 3 meter menyambut ku dan rombongan begitu kami turun dari
bus. Konon ini adalah sisa – sisa benteng Srimanganti
yang memagari bagian dalam istana Kartasura. Diluarnya, dulu pernah terdapat
tembok menjulang dengan tinggi 6 meter dan tebal 2 meter bernama Baluwarti yang sekarang sudah menguap
menjadi material bangunan warga.
Dibalik
tembok bata benteng Srimanganti seluas 2,5 hektar ini terdapat beberapa
bangunan. Rumah juru kunci pemelihara, sebuah bangsal, dan sebuah bangunan TPA.
Sisanya adalah makam – makam kerabat Keraton Surakarta, semak belukar dan
pepohonan.
Rombongan
disambut oleh Pak Surya Lesmana, anak dari Juru Kunci bekas Keraton Kartasura.
Keluarganya sudah menjadi penjaga kompleks kedaton Kartasura turun – temurun sejak
dulu. Syahdan, kakek buyut Pak Surya diutus oleh Sunan Pakubuwono VII untuk
mencari letak bekas Keraton Kartasura. Setelah pencarian yang melelahkan,
akhirnya bekas kedaton berhasil ditemukan. Tempat itu sudah kembali menjadi
hutan, layaknya alas Wonokarto ketika Amangkurat II pertama kali membabat alas
untuk membangun istana. Keraton Kartasura hanya menyisakan tembok – tembok batu
bata yang membentang memagari hutan yang dihuni oleh menjangan (rusa). “Simbah
saya dulu memindahkan menjangan –
menjangan itu ke tempat baru,” imbuhnya, “tempat itu bernama Kandang
Menjangan yang sekarang menjadi markas Kopassus”.
Duduk
bersila bersama kawan – kawan Malam Museum, Pak Lesmana menceritakan mengenai
sejarah Kartasura dan seluk beluk mengenai makam – makam yang ada didalamnya.
Kami duduk didalam sebuah bangsal kecil dipintu masuk kompleks pemakaman.
Bangsal itu bernama Bangsal Palereman.
Bangsal itu dibangun sebagai penanda petilasan bahwa tepat dibawahnya dulu
adalah letak bekas singgasana raja – raja pewaris takhta Mataram pernah
berkuasa.
Rombongan Jelajah Mataram Islam
berdiskusi didalam Bangsal Palereman
Sebuah
pohon rindang menaungi bangsal ini. Pohon kuno yang menurut penuturannya
berumur ratusan tahun dan konon sama tuanya dengan Keraton Kartasura dibangun.
Buahnya berwarna coklat kekuningan dengan bentuk bulat macam sawo. Pohon itu
bernama Kleco. “Kele – kele ning ora
eco (menarik tapi tidak enak diamakan).”, kata pria yang menjadi guru sejarah
disalah satu sekolah itu. “Getah pohon Kleco dulunya sering dimanfaatkan
sebagai bahan perekat payung kertas.” Imbuhnya. Pak Lesamana juga menambahkan
bahwa pohon Kleco ini pernah coba diteliti dan ditanam ditempat lain diluar
bekas keraton tapi tidak bisa dibiakkan dengan berbagai macam cara. Who knows?
Pohon Kleco yang tumbuh didepan pintu
masuk makam
Keraton
Kartasura dialih fungsikan menjadi pemakaman kerabat keraton Surakarta dimulai
pada masa Pakubuwono X dengan maksud agar tidak akan lagi sebuah keraton
didirikan ditempat yang pernah hancur. Didalam kompleks makam Keraton
Kertasura, terdapat makam yang cukup dikenal dan banyak diziarahi seperti makam
BRAy Sedahmirah yang terkenal cantik
dan cerdas. Beliau adalah selir Sunan Pakubuwono IX yang berhasil mengarang
kitab Ponconiti.
Sisa
– sisa lain dari bekas Keraton Kartasura adalah sebuah masjid yang berdiri
tepat disamping areal pemakaman. Masjid Hastana Karaton Kartasura masih
digunakan hingga saat ini.
Suasana di Masjid Hastana Karaton Kartasura
Konflik
yang terjadi dilingkungan keluarga dalam Keraton Surakarta menjadikan
ditutupnya pemakaman Keraton Kartasura. Sisa – sisa bangunan yang masih bisa
berdiri dalam lingkup Keraton Kartasura juga terlihat kurang terwat dan
terperhatikan. Bukan rahasia umum bahwa masalah dana menjadi masalah utama
pelestarian bangunan cagar budaya sarat sejarah ini.
Perjalanan
Jelajah Mataram Islam bersama Komunitas Malam Museum menyadarkan anak muda
bahwa peninggalan sejarah memiliki banyak kisah dan pelajaran yang bisa
diambil. Melintasi garis peradaban peninggalan Mataram Islam layaknya menyemai
nilai – nilai kearifan yang harus terus digaungkan dan dilestarikan agar tidak
hilang digilas peradaban modern.
Salam
Mblusukmen!
* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
BalasHapusWWW.ID303.INFO
MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : 08125522303
- BBM : CSID303
Tribun S128 Sabung Ayam
Daftar Agen Sbobet
www.gorengayam.live
POKERVITA
BalasHapusJUDI ONLINE TEXAS POKER
Juga Taruhan Kartu Tradisional Sakong Online
Bayar Pakai GoPay
Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Kami Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO&GOPAY Deposit dan Penarikan Dana. Untuk permasalahan apapun Anda selalu dapat menghubungi Tim Support kami, Kami online 24 jam/7 hari untuk menjawab pertanyaan Anda dan menangani masalah apapun.
Whatsapp : 0812-222-2996