ASAL USUL NAMA MAGELANG
Terdapat berbagai macam
versi mengenai asal usul nama Magelang. Kebanyakan sumber berdasarkan
legenda, cerita rakyat, dongeng, dan lain sebagainya. Kali ini, saya akan mencoba memaparkannya secara singkat beberapa versi asal nama Magelang.
Versi Pertama.
Syahdan, kata Magelang
sendiri berasal dari kedatangan orang – orang dari Keling / Ho-Ling (Kerajaan
Kalingga) ke wilayah Kedu. Kalingga sendiri merupakan kerajaan bercorak Hindu
Siwais yang berpusat di Jepara yang berkembang pada abad ke-6 Masehi. Alkisah,
orang – orang Kalingga yang datang ke wilayah kedu waktu itu senang sekali
menggunakan perhiasan berupa gelang. Orang Keling ini kerap mengenakan gelang
dibagian tubuh mereka, seperti di tangan dan hidung mereka. Kata ‘ma’ pada
Magelang merujuk pada kata kerja yang berarti mengenakan. Maka dari itu
Magelang berarti mengenakan atau memakai
gelang. Dari rujukan ini, maka Magelang adalah sebuah daerah yang
didatangi oleh orang-orang yang mengenakan hiasan gelang ditubuhnya.
Ilustrasi gambaran masyarakat zaman dahulu era kerajaan Hindu - Budha di Jawa
(Plurarisme di Majapahit, National Geography Indonesia)
Versi kedua.
Bersumber pada prasasti
- prasasti yang menyebutkan sebuah desa pardikan (desa bebas pajak) pada masa
kerajaan Medang, tersebutlah nama – nama desa atau daerah yang bisa menjadi
rujukan asal mula nama Magelang. Terdapat tiga buah prasasti yang menjadi
rujukan asal mula nama Magelang dan daerah yang sekarang masuk kedalam wilayah
Magelang. Prasasti – prasasti tersebut adalah prasasti Mantyasih I, prasasti
Poh, dan prasastri Gilikan. Prasasti – prasasti tersebut juga biasa dikenal
sebagai prasasti tembaga Kedu karena ditulis diatas lempengan tembaga. Prasasti
Poh dan Mantyasih diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rake
Watukara Dyah Balitung pada abad ke X
(898-910 M). Sedangkan prasasti Gilikan ditulis pada 924 M saat pemerintahan
Mpu sindok.
Jika dirunut pada
prasasti-prasasti tersebut, masing – masing prasati merujuk pada nama – nama
daerah (toponimi) di wilayah Magelang. Dalam prasasti poh tersebutlah nama desa
Mantyasih (secara etimologis Mantyasih terdiri atas dua kata, Manti yang
berarti sangat atau penuh dan sih yang berarti cinta atau kasih, yang mana
Mantyasih dapat diartikan Cinta Kasih yang Sempurna / Penuh), desa Galang dan
Glangglang. Sedang dalam prasasti Gilikan menyebutkan Bhatara di Glam yang mana Glam
disini adalah sama dengan desa Galang dalam prasasti Mantyasih.
Dalam prasasti Mantyasih I menyebutkan sebuah desa pardikan (bebas pajak)
Mantyasih di sebuah hutan dengan gunung Susundara dan wukir Sumwing dapat dilihat dari desa itu. Yang mana desa tersebut diberi kristimewaan oleh Rake Panangkaran Dyah Balitung dengan dilarangnya siapapun untuk memungut upeti atau pajak karena desa ini telah berjasa
pada Kerajaan. Desa pardikan Mantyasih ini sekarang masih bisa ditemukan di
bagian barat Kota Magelang ditepi timur sungai Progo dengan nama desa Meteseh.
Dalam prasasti Mantyasih I, tersebut pula nama daerah lain dalam prasasti
seperti yang desa Wadung Poh yang sekarang menjadi desa Dumpoh
di utara Kota Magelang dan Kdu yang sekarang menjadi Kedu, suatu wilayah di
utara Temanggung. Tersebut pula nama desa Kuning Kagunturan yang sekarang
menjadi desa Kembang Kuning dan Desa Guntur di Kelurahan Rejosari, Bandongan.
Nama desa Galang dan Glangglang yang menjadi cikal nama Magelang juga disebutkan
dalam prasasti Mantyasih I ini. Berdasarkan bukti otentik inilah maka asal mula
nama Magelang bisa berasal.
Versi ketiga.
Memasuki era kerajaan
Islam, Setelah runtuhnya Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di jawa sekaligus
ahli waris penerus Majapahit, terjadilah gesekan dan intrik politik antara
Kasultanan Pajang (penerus Kasultanan Demak) dan Mataram (sebuah hutan
bernama alas mentaok yang berkembang menjadi sebuah Kadipaten hadiah Sultan
Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya, kepada Ki Ageng Pamanahan atas jasanya yang berhasil
membunuh Arya Penangsang). Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, sang anak Danang
Sutowijoyo (Kelak, ketika Danang Sutowijoyo berhasil mengalahkan Pajang, Ia
akan mengubah namanya menjadi Panembahan Senopati sang pendiri Mataram Islam).
Konflik mulai terjadi ketika Kadipaten Mataram semakin besar pengaruhnya dan
mampu berkembang dengan pesat menyaingi Kasultanan Pajang. Dataran Kedu
dijadikan sebagai lokasi pelatihan militer oleh Danang Sutowijoyo sebagai
persiapan untuk melawan invasi Kasultanan Pajang (dalam versi lain ada yang
mengatakan untuk mempersiapkan pasukan Mataram dalam upayanya memperluas
kekuasaan setelah runtuhnya Kasultanan Pajang). Dalam ekspedisi membuka hutan
Kedu (babat alas) ini, dititahkanlah Pangeran Purboyo, Putra Panembahan
Senopati untuk pergi kesana. Hutan Kedu
waktu itu terkenal sangat angker dan berada dibawah kekuasaan kerajaan siluman
yang dipimpin oleh Prabu Sepanjang. Dalam ekspedisi ke tanah Kedu ini, Sang
Pangeran ditemani oleh saudaranya, yaitu Raden Kuning dan Raden Krincing dan
dua orang abdi sakti yaitu Tumenggung
Mertoyudo dan Tumenggung Singoranu beserta pasukan Mataram.
Singkat cerita, para
jin dan siluman di hutan Kedu merasa terganggu dengan dibukanya wilayah mereka
oleh pasukan Mataram. Gangguan makhluk-makhluk penjaga hutan Kedu ini dengan
memberikan wabah penyakit kepada pasukan Mataram. Banyak pasukan yang mengalami
penyakit aneh berupa sakit disore hari dan mati keesokan harinya. Atas
kesaktian saudara Pangeran Purboyo yaitu Raden Kuning, ia berhasil melawan para
penunggu Hutan Kedu dan membuat jin – jin itu kuwalahan, tak terkecuali sang
raja siluman Prabu Sepanjang yang melarikan diri. Semenjak itu, Kedu menjadi
daerah yang aman dan tentram.
Namun, didalam
pengejarannya membasmi jin penunggu hutan Kedu, Sang raden yang malah bertemu seorang gadis cantik penduduk sekitar bernama Putri Rantam (ada juga
yang meyebutkan namanya Rara Rambat), anak Kyai Keramat dan Nyai Bogem. Terlena
oleh kemolekan sang gadis, Raden Kuning melamar Putri Rantam dan pada akhirnya
menikah. Raden Kuning pun lupa akan tugasnya untuk menumpas Prabu Sepanjang.
Mengetahui kejadian
itu, Sang raja siluman, Prabu Sepanjang mendapatkan ide untuk membalas dendam
kepada pasukan Mataram dengan merubah wujudnya sebagai seorang laki-laki
bernama Sonta dan mengabdikan diri kepada mertua Raden Kuning, Kyai Keramat
sebagai kamuflase misi balas dendamnya. Semenjak Sonta menjadi pengikut Kyai Keramat, banyak terjadi
kematian aneh dikalangan pasukan Mataram. Kematian demi kematian yang semakin
banyak akhirnya membuat Pangeran Purboyo resah dan akhirnya berkonsultasi
kepada sang ayah, Panembahan Senopati. Sang raja Mataram itu bersemedi mencari
petunjuk kepada Sang Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul atas apa yang
terjadi di hutan Kedu. Dalam persemediannya inilah ia mendapatkan jawaban bahwa
penyebab semua kejadian ini adalah laki-laki bernama Sonta, abdi Kyai Keramat.
Atas wisik tersebut,
Panembahan Senopati memberitahu anaknya, Pangeran Purboyo, dan lantas
meneruskan informasi ini kepada Kyai Keramat. Bahwasanya, penyebab kejadian –
kejadian aneh di Kedu selama ini adalah ulah abdinya yang bernama Sonta.
Sontak, sang Kyai menjadi geram dan terjadilah perang tanding antara Kyai
Keramat dan Sonta sang jelmaan Raja Siluman. Pertempuran sengit pun terjadi
diantara mereka, namun apa daya, sang Kyai kalah dan tewas ditangan abdinya
itu. Melihat suaminya tewas bersimbah darah, Sang Istri, Nyai Bogem tidak
terima dan bertarung melawan Sonta. Malang tak dapat ditolak, Nyai Bogem pun
harus mati ditangan Sonta. Konon, lokasi tewasnya Kyai Keramat dan Nyai Bogem
ini menjadi nama kampung Keramat dan Bogeman di Magelang.
Mengetahui tragedi
kematian yang mengerikan atas kedua pasangan suami – istri ini, Pangeran Purboyo
memerintahkan tumenggung terbaiknya, Tumenggung Mertoyudo untuk mengejar dan
membunuh Sonta. Perang tanding sengit pun terjadi diantara mereka berdua.
Namun sayang, kesaktian Sang Raja
Siluman bukan tandingan Tumenggung Mertoyuda dan harus rela meregang nyawa
ditanah Kedu. Untuk membalas kematian Tumenggung Mertoyudo, Pangeran Purboyo
mengutus Senopati andalan sekaligus saudaranya, Raden Kerincing untuk membunuh
Sonta. Namun sayang, lagi – lagi utusan Pangeran ini harus bertekukuk lutut dan
tewas dibunuh Sonta. Lokasi gugurnya dua utusan Mataram ini kelak diabadikan
menjadi nama daerah Mertoyudan dan Kerincing di Magelang.
Habis sudah kesabaran
Pangeran Purboyo mengetahui para abdinya tewas ditangan Si Raja Siluman, Ia pun
memerintahkan semua pasukanya untuk memburu Sonta. Terdesak oleh kejaran
pasukan Mataram dan Pangeran Purboyo, Sonta kabur dan masuk kedalam hutan.
Dengan melakukan strategi pengepungan mengelilingi hutan dengan sangat rapat
dan tanpa celah oleh pasukan Mataram atau strategi ini lebih dikenal sebagai ‘Tepung Gelang’
atau ‘Ateping Temu Gelang’, Sonta tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Ia
terpaksa bersembunyi diatas pohon ditengah hutan. Namun ia tidak bisa
mengelabuhi kesaktian Sang Pangeran. Dihajarlah Sonta oleh Pangeran Purboyo
hingga ia tewas jatuh terjelembab ke tanah. Lokasi tewasnya Sonta ini konon
menjadi asal mula desa Santan di Magelang.
Keanehan terjadi takala
jasad Sonta berubah menjadi wujud asli Sang Raja Siluman Prabu Sepanjang.
Pertempuran keduapun terjadi antara Prabu Sepanjang dan Pangeran Purboyo.
Pertempuran dahsyat pun terjadi, ilmu – ilmu kanuragan dan jurus andalan
masing-masing dikeluarkan. Singkat cerita, Prabu Sepanjangpun tewas ditangan
Pangeran Purboyo. Sesaat setelah Prabu Sepanjang tewas, tiba – tiba muncul asap
hitam keluar dari jasadnya yang membumbung tinggi dan menutupi langit Kedu
sehingga gelap gulita. Sedikit demi sedikit, kegelapan itu mulai sirna diikuti
dengan musnahnya pula jasad Prabu Sepanjang. Jasad itu ternyata berubah menjadi sebuah tombak. Ternyata Prabu
Sepanjang adalah jelmaan sebuah pusaka azimat sakti berbentuk bilah tombak
bertangkai kayu yang panjang. Pangeran Purbaya pun memerintahkan untuk menanam
atau menguburkan tombak itu kesebuah bukit yang mana konon bukit itu adalah
Gunung Tidar.
Dalam versi
ini, maka dapat ditarik kesimpulan asal muasal nama Magelang merupakan sebuah nama
lokasi strategi pengepungan Pangeran Purboyo atas raja Siluman Prabu Sepanjang.
Strategi yang dalam bahasa jawa disebut ‘Tepung Gelang’ atau ‘Ateping Temu
Gelang’ yang bermakna mengepung rapat seperti gelang inilah yang konon menjadi dasar
penamaan Magelang.
Versi keempat,
Versi ini adalah versi yang sudah tertulis dalam sebuah majalah berbahsa Belanda pada masa kolonial dulu terbitan 1930an. Menurut majalah itu, Masyarakat umum Magelang yang mengatakan bahwa nama Magelang berasal dari kata 'Maha' dan 'Gelang' yang mengandung makna gelang yang sangat besar. Ungkapan tersebut berdasarkan letak geografis Magelang yang berada ditengah tengah gunung - gunung berapi yang mengelilingi Magelang. Jajaran gunung - gunung itu laksana untaian gelang raksasa yang memagari Magelang. Sehingga munculah kata Maha-Gelang yang lama kelamaan berubah menjadi Magelang.
Dokumentasi Pribadi
(Referensi:
JuraganSejarah.blogspot.com & Wikipedia /Sabtu/02-01-16.Pkl:10.07)
(Anscerita.wordpress.com
&Bagusirawan.blogspot.com/Sabtu/02-01-16/Pkl:13.34)
(Seminar Sehari di
Universitas Tidar oleh (alm) MM Sukarto K Atmodjo, 24 September 1988,
Kotatoeamagelang.wordpress.com.Sabtu./02/01/16.pkl 18.39)
POKERVITA
BalasHapusJUDI ONLINE TEXAS POKER
Juga Taruhan Kartu Tradisional Sakong Online
Bayar Pakai GoPay
Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita
Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain
Kami Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO&GOPAY Deposit dan Penarikan Dana. Untuk permasalahan apapun Anda selalu dapat menghubungi Tim Support kami, Kami online 24 jam/7 hari untuk menjawab pertanyaan Anda dan menangani masalah apapun.
Whatsapp : 0812-222-2996
Belum Pernah Dapat Jackpot Slot? Cobalah Bermain Slot Kami...
BalasHapusWinning303.org
Rasakan Jackpot Setiap Hari...Dapatkan Juga Bonus Rollingan Setiap Hari....
Seru Bukan??? Yang Pastinya Anda Tidak Akan Berpaling Lagi...
Mainkan Permainan Lainnya Dengan 1 User ID Saja...
1. Live Casino
2. Poker
3. Sportsbook
4. Lottery/Togel
5. Sabung Ayam
Hubungi Segera:
WA: 087785425244
Cs 24 Jam Online