PAREMONO : Remah – Remah Peradaban dan Pusara Sang Adik Pendiri Mataram



Bagi mereka yang sering melakukan ziarah ke makam – makam keramat, pasti sudah tidak asing jika mendengar Desa Paremono. Desa yang secara administratif berada di kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, banyak sekali menyimpan kisah – kisah masa lalu. Bukan hanya itu, sisa – sisa peninggalan peradaban masa klasik pun berserakan di desa ini. Apa sajakah kisah dan jejak masa lalu yang tersimpan di Desa Paremono? Simak penelusuran mblusukmen kali ini.


Gerbang Masuk Kompleks Pemakaman Agung Paremono



Babat Alas Paremono


Menurut kisah popular yang berkembang di masyarakat setempat, asal mula Desa Paremono berawal pada sekitar abad ke-15 ketika Ki Ageng Pamanahan, sang pendiri Kasultanan Mataram, diberikan sebuah wilayah dibagian barat daya Kasultanan Pajang yang bernama “Bhumi Mentaok” oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Ki Ageng Pamanahan yang terkenal sakti ini akhirnya berhasil membuka hutan Mentaok yang dulunya terkenal angker dan banyak dihuni binatang buas. Dalam proses Babat Alas Bhumi Mentaok ini, Ki Ageng Pamanahan juga meminta bantuan adik kandungnya, Raden Bagus Bancer yang bergelar Ki Ageng Pagergunung I untuk membabat alas (hutan) di daerah barat gunung Merapi. Daerah barat gunung Merapi ini mencakup wilayah dataran Kedu dan sekitarnya yang mana daerah ini juga terkenal tak kalah angker dibanding Alas Mentaok di daerah Yogyakarta.

Syahdan, Ki Ageng Pagergunung I sedang beristirahat disebuah sendang (sendang ini sampai sekarang masih ada) disuatu wilayah di dataran Kedu. Disana, beliau bertemu dengan seseorang warga desa dan kemudian bertanya – tanya mengenai wilayah tersebut. Karena didaerah tersebut terdapat banyak sekali padi didalamnya, kemudian beliau berujar ‘Parine Semono = Padinya banyak sekali’. Istilah nama Pari Semono diperkirakan muncul pertama kali pada 1521 Hijriah atau 1601 Masehi. Lama kelamaan, dari nama Parine Semono berubah menjadi Pariono, kemudian berbah lagi menjadi Parimono. Pada masa - masa menjelang masa kemerdekaan, nama Parimono akhirnya berubah lagi untuk terakhir kalinya menjadi Paremono. Begitulah konon nama desa Paremono berasal. 

 

Sebagai seorang adik kandung Ki Ageng Pamanahan, maka tidak heran jika Ki Ageng Pagergunug I juga mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi. Dikisahkan, ketika Ki Ageng Pagergunung I membuka alas di kawasan Magelang, beliau hanya menggunakan tangan kosong. Konon, beliau membabat pepohonan dan rumputan yang ada di daerah Kedu ini sampai wilayah yang apa sekarang disebut sebagai Wates, Magelang. Nama Wates (dalam bahasa Indonesia berarti Batas) sendiri sebenarnya adalah suatu  batas dimana Ki Ageng Pagergunung I berhenti membuka hutan. Karena kesaktianya membuka hutan hanya dengan tangan kosong inilah, beliau juga memiliki julukan sebagai Ki Ageng Karotangan (Karo = menggunakan; tangan = tangan).

Berdasarkan Pernyataan Juru Kunci Makam Kyai Ageng Ngenis yang berada di Laweyan, Solo, Ki Ageng Karotangan adalah putra dari Kiai Ageng Ngenis/ Anis yang jika diruntut silsilahnya kebelakang akan sampai pada Trah Bondan Kejawan. Trah ini merupakan keturunan dari putra Prabu Brawijaya V dan Raden Roro Nawangsih pada era Majapahit. Ki Ageng Karotangan sendiri mempunyai putra bergelar Patih Sindurejo I. Patih Sindurejo I ini merupakan patih pada zaman Sunan Amangkurat Agung (Mangkurat I). Beliau beristrikan GRA Klenting Kuning yang merupakan Putri Raja Amangkurat Agung dengan selir yang bernama RA. Mayang Sari. Sebagai hadiah karena berhasil memetik bunga Wijayakusuma di Cilacap/ Nusa Kambangan, anak dari Ki Ageng Karotangan ini mendapat gelar Patih Sindurejo I.

 Silsilah Keluarga Kiai Ageng Karotangan/Pagergunung I/ Bagus Bancer dan Patih Sindurejo
Sumber : himahos.blogspot.co.id
 

Pesarean Ageng Paremono


Menurut cerita masyarakat desa Paremono secara turun temurun, di dalam kompleks Pemakaman Ageng Paremono terdapat makam Kiai Ageng Karotangan beserta keluarganya. Kompleks makam dari keluarga Ki Ageng Karotangan sendiri letaknya berada dibagian dalam kompleks pemakaman. Makam trah Ki Ageng Karotangan ini berbeda dengan makam – makam yang lain. Makam keramat ini adalah satu – satunya makam yang bercungkup (berbangunan rumah). Jika dilihat dari bentuk batu – batu nisan makam yang terdapat di kompleks pemakaman agung ini, sebagian besar makam terbuat dari batu – batu andesit. Ditilik dari segi ragam hiasannya, pusara – pusara ini berasal dari era awal berdirinya kerajaan mataram islam seperti bentuk – bentuk makam yang terdapat dikompleks pemakaman raja – raja Mataram di Kota Gede, Yogyakarta.

 
Cungkup Makam Patih Sindurejo yang mana di Pelataran ini terdapat pohon yang langka namanya Pohon Nagasari kita juga dapat menjumpai di kompleks pelataran Makam Agung Kotagede. Sumber : himahos.blogspot.co.id 

 Serpihan batuan penyusun mahesan makam yang berserakan didepan cungkup makam Ki Ageng Karotangan Paremono. Diperkirakan ragam hias seperti ini muncul pada awal Mataram Islam


 
 Serpihan komponen batu mahesan di kompleks Pemakaman Agung Paremono


Komponen batu penyusun makam yang mirip batu candi yang cukup besar didekat makam - makam kuno di Kompleks Pemakaman

Didalam pagar kompleks cungkup makam Ki Ageng Karotangan, kurang lebih terdapat 7 buah makam kuno diluar cungkup dan 4 makam keramat lain berada dalam bangunan inti cungkup. Konon yang dimakamkan didalam kompleks cungkup ini adalah Ki Ageng Karotangan, Patih Sindurejo I, GRA Klenting Kuning, dan kerabat dekat lain dari trah Ki Ageng Karotangan. Uniknya, dalam salah satu makam yang terdapat dalam kompleks keramat ini terdapat sebaris tulisan beraksara jawa yang berbunyi angka 1625. Kemungkinan angka ini adalah penanda meninggalnya sang pemilik makam dalam hitungan tahun jawa. Angka 1625 saka sendiri jika dikonversi kedalam tahun masehi akan merujuk pada tahun 1703. Tahun tersebut adalah tahun – tahun awal Sunan Amangkurat III bertakhta atas Tlatah Bhumi Mataram setelah sang ayah Sunan Amangkurat II meninggal dunia. Sebagaimana yang telah kita ketahui, tahun – tahun tersebut adalah tahun krusial bagi Kesultanan Mataram dimana VOC mulai ikut campur dalam kancah perpolitikan feodalisme kesultanan. Kejadian yang mengikuti setelah tahun 1703 adalah kekacauan politik dan kekuasaan yang berakibat perang suadara dan pecahnya Mataram dikemudian hari. 

Tulisan dalam huruf aksara jawa berbunyi 1625 saka atau 1703 masehi pada salah satu makam keramat

Kompleks pemakaman Agung Paremono ini biasanya ramai dikunjungi para peziarah pada tanggal 25 Ruwah kalender penanggalan jawa. Para peziarah datang secara berombongan. Setibanya di dalam kompleks pemakaman, biasanya peziarah memanjatkan doa disekeliling makam Ki Ageng Karotangan. Hal lain yang menarik pada kompleks pemakaman milik Ki Ageng Karotangan ini adalah terdapatnya Pohon Nagasari didepan cungkup makam. Konon pohon ini hanya bisa tumbuh disekitar makam kerabat kerajaan Mataram. Pohon serupa juga tumbuh di kompleks pemakaman raja – raja di Kota Gede, Yogyakarta. Dipercaya pohon ini berfungsi sebagai pelindung makam. Yang unik dari pohon Nagasari ini adalah, daun dari pohon ini bisa dibakar walaupun masih dlam keadaan basah.

Pohon Nagasari didepan kompleks pemakaman Ki Ageng Karotangan. Pohon yang dipercaya hanya tumbuh di pusara kerabat raja Mataram 


Remah – Remah Peradaban Paremono


Lokasi geografis Desa Paremono yang berada dalam kawasan Candi Borobudur membuat kawasan ini diduga menyimpan banyak sisa – sisa peradaban masa klasik. Selain banyak ditemukan makam – makam tua zaman kerajaan Mataram, di dalam kawasan rumah - rumah penduduk di Desa Paremono sendiri,banyak ditemukan serakan batuan candi. Seperti  ditemukannya serpihan gapura masuk candi diteras rumah warga. Masih terdapat tiga batuan lain yang masih tertanam dibawah pondasi rumah. 

 
Serpihan gapura masuk candi yang tinggal sebagian diteras sebuah rumah. Masih ada sebagian komponen candi lain yang tertanam dibawah tanah.

Selain itu, ditemukan pula sebuah yoni berukuran kecil dipekarangan milik warga. Yoni ini dalam keadaan terbalik dan masih memiliki cerat yang utuh. Hanya saja dibagian bawah yoni ini sudah rusak sebagian. Didekat yoni ini juga bisa ditemukan batuan candi lainnya. Diperkirakan situs Paremono ini adalah situs peninggalan peradaban agama Hindhu.

 
Yoni yang terbalik dipekarangan rumah warga Paremono. Bagian bawah Yoni ini menghadap keatas  dan mengalami kerusakan sebagian, Cerat Yoni masih dalam keadaan utuh.
 
 Yoni terbalik Paremono dari sudut lain


Serpihan komponen batu candi dipekarangan rumah tidak jauh Yoni terbalik 


Komponen batu candi lain yang diperkirakan bagian kemuncak candi
 
Demikianlah hasil penelusuran Mblusukmen di desa Paremono, Mungkid, Magelang. Semoga tulisan ini memberikan manfaat. Salam Mblusukmen!!

Komentar

Posting Komentar