Salam Mblusukmen!
Kuda mempunyai peran yang penting bagi
masarakat Nusantara sejak zaman dahulu. Selain sebagai sarana transportasi,
kuda juga menempati posisi sebagai makhluk mitologis bagi masyarakat Hindhu – Budha
Nusantara. Seekor kuda bersayap wahana Batara Wisnu yang terpahat pada relief
Watu Gilang di Piyungan, Yogyakarta membuktikan bahwa kuda adalah makhluk yang
berperan penting dalam kronik sistem kepercayaan nenek moyang dahulu. Dalam
perjalanannya, kuda bersayap yang mampu terbang ke angkasa layaknya Pegasus
dalam mitologi Yunani ini disebut ‘Jaran Sembrani’ atau Kuda Sembrani
oleh masyarakat Jawa. Konon, Kuda Sembrani adalah kuda tunggangan para raja dan
senopati yang mampu bergerak dengan sangat cepat. Ketangguhan dan kegagahan
kuda juga dapat terlihat pada seni tradisional Jathilan atau kuda lumping.
Foto Kenampakan Morfologis Kuda Kedu yang terdapat dalam buku Veerassen en Veetleet in Nederlansch - Indie. Sumber : Upload Denmaz Didotte 24 February 2016 dalam komentar Fb
Dalam sejarah, nenek moyang kita dulu sudah mampu mengembangbiakkan kuda dengan menyilangkan jenis – jenis kuda local asli Indonesia dengan kuda ras timur atau Przewalski (kuda Mongol). Secara genetic, kuda – kuda yang ada di Indonesia memiliki kekerabatan dengan kuda dari daratan Asia itu. Secara formologis, ciri kuda dari Jawa (Kedu) memiliki tinggi lebih dari 1,13 meter dengan kepala sedang dan rahang agak besar. Mata dan telinganya juga agak sedang dengan muka kencang dan sedikit tegak. Kuda Kedu berleher dan bertengkuk pendek dengan urat yang bagus. Ia memiliki kumba yang pendek, pinggang yang baik dengan kemudi agak pendek. Kuda Kedu ini juga memiliki dada cukup lebar dan dalam dengan kualitas kuku agak kurang baik dibandingkan beberapa kuda di Indonesia.
Orang eropa disebuah
taman didekat Kalibening, Magelang tahun 1900. Terdapat dua orang dalam foto
yang sedang menunggang kuda. Sumber: KITLV
KUDA KEDU
“Aku mencoba kuda ini selama 8 hari dan
mengijinkan kusirku untuk menentukan apakah aku harus membeli kuda ini atau
tidak. Aku bisa merasakan bahwa kuda ini tidak buta dan tidak lesu..”
-Catatan harian Dr. H. Breitenstein dalam
buku 21 tahun di Hindia, bagian ke-2 : Jawa-
Kuda dari dataran Kedu
terkenal dengan ketangguhannya dalam membawa beban yang berat melintasi
topografi pegunungan yang naik turun. Sebelum masuknya jenis kuda sandel dari
wilayah Sumba dan kuda persilangan ras eropa dan lokal dari Minahasa ke Jawa,
kuda dari Kedu masih menjadi andalan sarana transportasi pengangkutan barang di
Karesidenan Kedu. Konon kuda Kedu memiliki stamina yang baik dalam menarik dan
membawa beban didataran pegunungan yang terjal. Akan tetapi, menurut Schulze
dalam buku ‘Früher auf Java’ terbitan 1890, setelah masuknya kuda ras dari
Sumba dan Celebes, reputasi kuda Kedu mulai tergeser karena dinilai tidak
sekuat dan tidak berdaya tahan lama.
Putri Dinasti
Mangkunegaran Surakarta yang sedang menunggang kuda sekitar tahun 1938. Sumber: Pinterest dipin oleh Catherine Rahadi
KISAH KUDA PENGANGKUT
GENTENG
Di wilayah Kedu pernah pula dikenal kuda asal Tegowanu, Temanggung. Kuda ini konon berpostur pendek dengan kaki kekar. Bersurai panjang yang menjuntai mirip gambaran kuda pada lukisan kuno Tiongkok. Dahulu kuda2 ini digunakan sebagai kendaraan pengangkut genteng. Seiring berjalannya waktu, kuda - kuda ini menghilang karena tergeser kendaraan bermotor.
Ilustrasi Kuda Kedu
asal Tegowanu, Temanggung yang nampak seperti pada lukisan Tiongkok. Sumber : Postingan Viriya Candra dalam komentar Kuda Kedu 8
April 2014
Di sentra pembuatan
genteng di Kalangan, Salaman, Magelang, kuda jenis kedu masih dipakai sebagai
pengangkut genteng dengan kranjang di kanan kirinya. Masing – masing
keranjang memuat 10-20 genteng yang terkadang harus menempuh medan pegunungan
antara kajoran-kaliangkrik. Saat itu, tidak ada yang bisa menggantikan kuda
Kedu yang memang terkenal dengan staminanya.
KUDA WEKAS, KUDA
TANGGUH LERENG MERBABU
“Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Crawfurd,
semua jalan itu dalam kondisi sangat buruk dan hampir mustahil untuk dilewati
kendaraan. Kuda-kuda kecil menjadi sarana transportasi untuk mengangkut barang..”
-Magelang Middelplunt Den Tuin Van Java-
Menurut catatan
Belanda, kuda Wekas adalah salah satu kuda yang baik dalam melakukan tugas
pengangkutan barang komoditas perkebunan seperti kopi. Kuda Wekas mendapatkan
reputasinya karena kuda – kuda tersebut terkenal tangguh yang berhasil
dikembangbiakan oleh warga desa Wekas. Wekas sendiri adalah sebuah desa di
lereng gunung Merbabu yang terkenal dengan kontur topografi tanah yang terjal.
Bagi para pendaki, Wekas sudah tidak asing lagi karena desa Wekas merupakan
base camp pendakian Gunung Merbabu dari sisi Magelang.
Foto kuda - kuda Wekas
sebagai kuda pengangkut barang. Sumber:
Upload foto pak Denmaz Didotte 10 Januari 2016, Group KTM
Kuda Wekas berperan
penting dalam pengiriman barang pos dari Magelang. Perbukitan Djamboe antara
Semarang dan Magelang sebelum tahun 1870 tidak bisa dilewati oleh kereta kuda.
Barang-barang pos itu harus dibongkar dulu di daerah Pingit yang kemudian
dimuat lagi ke atas punggung-punggung kuda Wekas (kuda beban) sampai di daerah
mBedono. Di mBedono barang-barang pos itu dimuat lagi di kereta kuda sampai ke
Ambarawa. Dari Ambarawa barang-barang pos itu dikirim dengan kereta api. Begitu
juga sebaliknya, barang-barang pos yang dikirim ke Magelang harus melalui
punggung kuda wekas dari mBedono ke Pingit. Begitu sentralnya peranan kuda
Wekas sebelum adanya jalur kereta api yang menghubungkan Semarang dan Magelang.
Foto postloods pingit
dengan objek berupa beberapa kuda menarik kereta melewati gerbang postloods. Sumber: KITLV
KUDA NYAMAN UNTUK
PLESIRAN & PENANDA STATUS SOSIAL
"Kantor-kantor pos dibangun di jalan besar dan Magelang yang punya fasilitas
kandang dengan banyak kuda yang berkualitas baik, menjadi stasion pos yang
penting.."
-Magelang Middelplunt Den Tuin Van Java-
Selain berguna sebagai
kuda angkut barang dan penarik kereta, Kuda dari dataran Kedu pada masa lalu
juga menjadi sebuah penanda status sosial tertentu. Bagi Bupati (regent)
Magelang, selain barang - barang mewah yang menghiasi regentswoning (rumah
bupati), kuda yang bagus juga menjadi salah satu harta berharga. Bagi Bupati
Magelang kala itu, Kuda dari Mergowati di Kedu, Temanggung adalah pilihannya.
Portret van de Regent
van Magelang te Kadoe, Regent R.A.A. Danoesoegondo, 1913. Sumber: KITLV
3 orang anak - anak keturunan eropa yang sedanag berfoto dengan seekor kuda di Magelang pada sekitar tahun 1924. Bukan hanya para priyayi, para Sinyo dan Nyonya Indo ini juga menggemari kuda. Sumber : Foto pada kolom komentar oleh E van Java 21 Januari 2016 Grup KTM
Kuda juga biasa dijadikan sebagai sarana bertamasya yang nyaman bagi para Tuan dan Priyayi Magelang kala itu. Salah satu objek wisata plesiran favorit mereka adalah Candi Selogriyo di distrik Bandongan.
De Tjandi Selagrija bij Magelang - Majalah "Weekblad voor Indies, 25 Februari 1917. Ulasan tentang wisata ke candi Selogriyo dari majalah lama, dulu bisa melakukan perjalanan dengan menunggang kuda milik wedono di Bandongan
Cara terbaik untuk
menikmati kecantikan alam dan situs arkeologi di Bandongan adalah dengan
menaiki kuda. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, Magelang dan Bandongan akan
memakan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan. Maka dari itu, biasanya para tuan dan
priyayi bersepeda atau naik kereta kuda ke Bandongan. Setelah para tuan dan
priyayi ini sampai, mereka akan dipandu oleh Wedana Bandongan untuk memilih
kuda – kuda kesayangannya. Sang wedana Bandongan ini menyewakan kuda – kudanya
itu dan mengantar para tuan dan priyayi itu menelusuri jalan mendaki dilereng
pegunungan Giyanti di Kaki Gunung Sumbing.
Sumber Foto : De revue
der sporten, 1915. Tampak Boepati Magelang berfoto bersama dg beberapa Tentara
KNIL sebelum berangkat menuju ke candi Selogriya.
Candi Selogriyo sendiri
terletak kurang lebih 650 meter diatas permukaan laut. Tentunya, jalan yang
menanjak naik dan berkelok ini membutuhkan kendaraan yang tangguh pula. Maka
dari itu, kuda – kuda dataran Kedu ini adalah pilihan terbaik. Selain plesiran
melihat kemolekan Bandongan, biasanya para tuan dan priyayi ini juga suka
berburu disini.
Aktifitas olahraga
berburu celeng di distrik Bandongan. Sumber : De
revue der sporten, 1915
Demikianlah kisah kuda
- kuda khas Kedu yang dalam sejarah perkembanganya sempat mengisi kehidupan dan
turut serta dalam pembangunan peradaban di Magelang. Semoga tulisan ini
bermanfaat. Salam Mblusukmen!!
sampai tahun 1985 an, dari sentra pembuatan genteng Kalangan, Sidomulyo, Salaman Magelang masih sering melihat kuda kedu membawa genteng dengan keranjang di kanan kirinya dan pemiliknya menuntun disampingnya. Melintasi jalan raya kauman menuju daerah pegunungan di Kajoran dan Kaliangkrik. Lambat laun menghilang diganti dengan sepeda dan akhirnya mobil.
BalasHapusSearching tentang kuda dan priyayi Jawa abad 19 malah menemukan artikel ini...
BalasHapus" You can get a lot of inspiration from this page, also visit my website
BalasHapusSAGATOTO"